Sunday, January 3, 2010

KISAH BEBERAPA SAHABAT

                  Inilah Jalan Hidup Kita
        Setiap orang punya kehidupan sendiri. Seperti aku, punya kehidupan sendiri, kerja sambil kuliah, ngajar dan sibuk dengan diri sendiri yang tidak tau juntrungannya. Dalam kebisingan line kerja ini, kususun kenangan yang kuukir tiga tahun silam disebuah istana dibawah awan. Didepan lobi istana itu tergantung sebuah papan nama: PEMONDOKAN MAHASISWA / PELAJAR. WISMA ALAMANDA 3. Jalan Kakak Tua. No 23 Air Tawar Barat. Padang.

        Dalam “Komunitas Tarbiyah” itu, aku belajar dari pribadi-pribadi para sahabat, dari kebaikan dan kekhilafan. Seperti Mira dengan keluarga dan satu Putra, sibuk dengan bisnis burgernya. Lulusan Tata Niaga Unand itu memang punya jiwa marketing. Sebelum menikah, ia bekerja di PKPU, kadang jualan baju-baju, dan “meloper” buku-buku atas kerja sama dengan UD Al Fitrah dengan system 2x bayar. Sekarang setelah bekeluarga ia diboyong suaminya ke Padang Panjang. Untuk mengisi waktu luang diantara mengurus putranya ia membuka usaha burger di Pesantren Diniyah Putri. Mira pernah satu kamar denganku. Ia baik dan suka tersenyum, saat sedih, dongkol, marah, ia tetap tersenyum. Bibirnya memang sudah di design seperti bulan sabit. Maniiisssss sekali.

        Ni Yet, sibuk honor disebuah Sekolah Negeri dikota Padang. Ia akhwat yang imut dan lucu. Tidak pernah marah, dan kalaupun marah, ia akan segera tertawa ngakak. Aku pernah dekat dengannya, karena kesamaan faktor mood yang memang kami jarang terlihat serius. Setelah kami sama-sama tamat kuliah, dengan sedikit ide tanpa persiapan kami membuka jasa translate dual bahasa, Inggris Indonesia, karena jurusan kami sama. Itulah yang bisa menutupi kebutuhan kami yang memang termasuk golongan bawah kebawah, he..he. setelah tamat kuliah aku menganggur selama satu tahun sebelum akhirnya aku mendarat di pulau Batam.

        Aku jadi teringat Ni Oja, akhwat senior di Wisma Alamanda 3 tercinta. Ia akhwat yang rupawan, anggun dalam setiap gerakannya. Jalannya cepat dan kepalanya selalu tertunduk. Kadang aku selalu bertanya pada diri sendiri tentang “ghadul basharnya”. Ni Oja, tertunduk karena malukah ia atau karena memang menjaga pandangannya. Ia sudah lebih dari sembilan tahun berjibaku dikampus, spesialisasinya adalah farmasi, tersendat oleh penelitian yang belum rampung. Namun pada saat-saat terakhir aku meninggalkan Alamanda, ia masih tetap saja tegar dengan masalah yang menderanya - kuliah dan pergolakan ego dalam dirinya. Ia tergolong pribadi yang introvert, cenderung menghindar pada lingkungan yang baru. Pertamakali aku mengenalnya aku mengimajinasikan ia seperti Putri Malu, dari jauh tersenyum cantik namun ketika bersentuhan ia seolah mengkerut kedalam cangkangnya.

       Tapi tak selalu begitu, ia tiba-tiba bisa menjadi jenaka, tertawa lepas dan mau berbagi masalahnya dengan orang orang yang sudah dekat dengannya. Namun terkadang ia bersikap obsessive pada orang-orang tertentu. Jika ia sudah merasa cocok dengan seorang teman ia benar-benar akan ketergantungan pada teman tersebut. Sialnya, hal-hal seperti ini dilarang keras di wisma karena akan menimbulkan kecemburuan penghuni lainnya. Karena sebagai sosok yang tergolong senior, ia harus membagi jatah kasih sayangnya rata pada setiap penghuni, begitulah hukum yang tak tertulis di Alamanda. Aku memahaminya, karena jika dalam sebuah komunitas ada koloni, dalam koloni ada gank, dalam gank ada persekongkokolan (ih, bahasanya syerem) dan dalam persekongkokolan ada pengkhianatan (hush..berlebihan amat) tidak akan tercipta ukhuwah yang hangat. Toh, konflik seperti ini sudah menjadi lagu lama dipemondokan mahasiswa.

        Tidak semua akhwat bisa mendekati Si Putri Malu. Karena kupikir Si Putri Malu tahu orang yang benar-benar ingin bersahabat dengannya. Aku pernah bermain dalam tamannya, memahami setiap geriknya. Ku coba untuk menganalisa pribadi Sang Putri Malu. Ia cantik, sempurna, dan perfeksionis. Segala sesuatu harus benar dimatanya. Segala hukum dan aturan harus dipatuhi dan dilaksanakan. Tapi toh, makhluk-makhluk manis yang berterbangan di pemondokan kami bukanlah makhluk-makhluk dari syurga, tapi makhluk-makhluk mungil yang mencoba untuk meraih syurga dengan tangan-tangan mungil mereka. Meski, jilbab selebar taplak meja O-Shin (meja bulat yang dipajang dalam ruang tamu, berkaki pendek, dan biasanya disajikan tanpa kursi-aku punya satu dirumah, hiks..) tapi toh hati mereka tetaplah dari segumpal daging. Nah, Si Putri Malu paling tidak bisa melihat pelanggaran sekecil apapun.

       Sikap “radikal” seperti ini kadang juga membuat penghuni yang baru mengeja agama yang sudah dianutnya sejak lahir itu merasa sedikit gerah, maka timbullah gap yang kian hari kian menganga. Tapi bagiku ini bukanlah sebuah problema, tapi pembelajaran untuk berbuat yang lebih baik.
Aku pernah “menganalisa” sifat dominant Si Putri Malu. Aku jatuh cinta padanya, pada prinsip hidupnya yang tidak semua orang bisa memahaminya. Hati kerasnya dapat diluluhkan hanya dengan segaris senyuman dan seiris kritikan santai.
       Tapi toh, semua bidadari penghuni “Istana di Bawah Awan” adalah makhluk-makhluk bijak nan bestari, aku percaya itu. Semua perbedaan terasa manis dalam rajutan ukhuwah.

       Senyum termanis yang tak pernah kulupakan adalah milik Siska alias Syahidah Muthmainnah. Ia satu angkatan denganku dan umur kami hanya beda 17 hari. Ia gadis yang penyabar dan ramah. Semua orang akan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Terkadang ia bersikap kekanakan dan terkadang sangat dewasa dan jenaka. Ia sudah lebih dari 7 tahun berjibaku di kampus, tersendat oleh penelitiannya. Kadang jika teringat Siska aku geli sendiri, ia mengambil jurusan biologi science tapi takut dengan katak. Kalau tak salah, ia pernah cerita kalo dia pernah absent praktikum gara-gara takut melakukan operasi Caesar pada katak hamil kembar siam (emang katak mamalia yah…? He..he..).

       Ramadhan kemarin waktu pulkam (pulang kampong) aku bertemu dengan akhwat imuth ini. Ia memamerkan se-koloni kecoa dalam sangkar tertutup untuk bahan penelitian skripsinya. Syukurlah, berarti penyakitnya sudah sembuh karena sudah bisa mengamati makhluk menyebalkan itu selama 24 jam. Dulu pernah kusarankan ia pindah ke kependidikan saja biar skripsinya lebih “gampang”. Tapi wajahnya berbinar saat menunjukkan kecoa-kecoanya. Ah, mungkin sudah terlanjur cinta dengan kecoa-kecoa mungilnya kali, pikirku……

       Aku kenal Ning dan Ningsih lebih dari 7 tahun. Saat pertama kali kenal dengan Ning, aku terkesan ia tampil dengan percaya dirinya saat di panggil kedepan oleh salah seorang senior waktu OSPEK. Dilehernya tergantung kertas karton berukuran 15x10 cm yang bertuliskan DOLL. Memang ia seperti boneka Barbie. Diantara mahasiswa baru lainnya hanya ia yang memiliki papan nama sangat “ramah”.
Mendengar suaranya di telepon, Ning tak pernah berubah sejak tiga tahun lalu saat terakhir aku melihatnya. Kasihnya sebening embun, tapi aku tak pernah tulus padanya, aku tipe orang yang terlalu banyak menuntut. Ning adalah sahabat baik, teman curhat yang paling klop, pendengar terbaik, dan saudara yang benar-benar tulus. Setiap sisi negative ku yang kutonjolkan padanya selalu dinilai dengan judgement yang positif.

       Ning tak pernah marah. Ia yang selalu memupuk semangat dan kepercayaan diriku. Ia yang menguatkan aku untuk tetap bertahan kuliah di kampus ABA yang membuat aku kecewa, saat kunyatakan untuk pindah ke UBH (Universitas Bung Hatta). Aku tak pernah menyukai jurusan bahasa Inggris sebagaimana yang “diultimatumkan” ibuku. “Jika mengambil jurusan tekhnik, lebih baik kamu tidak kuliah!”, itu ancaman ibuku saat kunyatakan untuk ikut SPMB dan memilih tekhnik elektro. Saat menginjakkan kaki di kampus Akademi Bahasa Asing itu, aku merasa sebagian masa depanku sudah hancur, tak ada pilihan. Semester pertama dan kedua kujalani tanpa semangat, dan Ning lah yang menyejukkan hatiku dengan kata-katanya,

       “Yang terbaik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Dan barangkali disinilah kamu akan menemukan dirimu”. Ajaibnya, kata-kata Ning memberiku semangat menyelesaikan kuliah meski separuh hatiku sudah ada di Bung Hatta dan separuh penyelesalanku masih membekas karena tak mengambil kesempatan PMDK di Politek UNAND.
       Ya, inilah jalan hidup kita. Mungkin jika aku tak menemukan Ning, aku tak pernah mengenal Islam dan berbaur dengan orang-orang hebat di Alamanda. Jika aku tak mengenal Ning, mungkin aku sudah seperti patung-patung mode yang dipajang didepan toko pakaian, setengah telanjang. Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang tak bisa kubayangkan.

       Ning sekarang sedang melanjutkan kuliah S1-nya di Universitas Negeri Padang, karena cita-citanya memang ingin menjadi guru. Aku sekarang juga sedang melanjutkan kuliah S1 di Universitas Riau Kepulauan sesuai dengan kemauan ibuku untuk menjadi guru. Dulu kupikir menjadi guru adalah cita-cita yang sangat sederhana, tapi dihari pertama aku PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, bahwa menjadi guru itu adalah cita-cita yang mulia. Dan Ningsih pun sudah memenuhi cita-citanya menjadi seorang istri dan seorang ibu. Selamat…selamat…

       Aku hanya membaca kisah heroic para akhwat dalam cerpen-cerpen karya Asma Nadia atau Mbak HTR. Tapi di Alamanda pernah ada seorang akhwat yang sering digambarkan dalam cerpen-cerpen itu. Namanya Kak Wulan. Posturnya tinggi besar, suaranya lantang dan berwibawa. Aku pernah mendengar orasinya dalam sebuah aksi damai mahasiswa di Padang. Suara deras dan lantangnya mengalir berirama lewat moncong T.O.A. semua ikhwan pada segan dengan Kak Wulan, ehmm…

       Aktivitasnya segudang, ngajar privat, kuliah, organisasi ekstra kampus, LDK, majalah kampus, sebagai DPH di wisma alamanda, dan bla..bla..bla. Meskipun aktivitas diluarnya padat, ibadahnya tetap mantap dan tetap meluangkan waktunya untuk berbagi cerita dengan kami menjelang tidur. Mendengarkan keluhan dan lenguhan kami, tentang hidup dan kehidupan. Kuliah dengan biaya sendiri di kota Padang adalah hal yang luar biasa bagi kami apalagi Kak Wulan juga harus membantu ekonomi kedua orang tuanya dan menyekolahkan adik-adiknya. Ia seorang kakak yang baik, teman terbaik dan senior paling baik. Kak Wulan ibarat “Ketua Majelis Fatwa Kontemporer” bagi kami jika kami kesulitan dengan berbagai pertanyaan. Jawaban-jawabannya cerdas dan singkat namun sangat dapat dimengerti.. Ia seorang guru yang dicintai para muridnya.

       Terkadang kita sering menghakimi seseorang tanpa alasan. Terkadang kita terlalu menuntut orang lain berlaku seperti apa yang kita inginkan. Namun jika kita mau jujur, bahwa tidak ada seorangpun yang berlaku sesuai dengan keinginan kita. Karena Tuhan tidak menciptakan kita dengan menggunakan satu bahasa pemograman tertentu sehingga setiap orang punya karakter yang sama, mengalami kerusakan yang sama dan butuh treatment yang sama pula. Bukan, Tuhan menciptakan kita dengan berbagai perbedaan untuk saling melengkapi. Dan jika kita mau sedikit membuka diri, semua kebaikan dan kekhilafan seseorang itu seharusnya kita jadikan sebagai moment pembelajaran yang kooperatif bukan menghujat dan mengklaim sehingga masing masing pribadi akan saling menonjolkan kebaikan dirinya dan kejelekan temannya.

       Ingin kuceritakan lebih banyak tentang para sahabat di Alamanda, sebagai kenangan yang tak pernah kulupakan. Aku berusaha mengingat nama-nama akhwat agar aku tak pernah melupakan mereka untuk 10 tahun yang akan datang. Mawarni, Churent, Chiwen, Emma, Aniez, Shija, Bunda, Mandeh, Mira Geo, Ike, Siti, Aisyah, Icha, Tachi, Amien, Vera, Ona, Iziel, Ni Murni, Juned, Ni Aas, I-Be, Tazkiyya, Engla, Kak Fauziah, Wirda, Yen Bengkalis, Iya, ni Iya, Ni Yen, Ar BR, Fadhilah Raflis, Ni Dewi, de el el…………… I Luv U Full…..

5 comments:

sahabatmoediepson said...

MJ.....
Aku butuh sahabat seperti ente
Jadilah sahabatku
:-)

Hilmy said...

Ehhmmmmmm....
Ente yang pake baju coklat, biru, ato yang warna telor bebek...?
he..he..

sahabatmoediepson said...

Putiiiiiiihhhhhh
he...he....

Jilan al Rasyid said...

hiks... winda belum lahir waktu itu ya kak..

Hilmy said...

udah tuh, Wind. Pasti Wind kenal salah satunya, kan? beberapa adalah sesepuh yang masih tinggal disana. dan yang sudah out masih sering berkunjung. Winda jurusan apa kemarin? UNP, kan?
o ye, apa nama blog winda? sharing info ya biar kita keep silaturahmi....

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti