Tuesday, February 28, 2012

Saya dan Nenek Tua Itu................

Aku menuruni jalanan aspal menuju Masjid Darul Ikhwan dengan tergesa, imam sudah membaca Al Fatiha saat kakiku menginjak dinginnya lantai masjid. Buru-buru kukenakan mukena dan bergabung dengan yang lain. Aku hanyut dalam samudera Al Fatiha yang mendayu bagai semilir angin merayu dicelah gemerisik pasir. Setelah melaksanakan shalat sunnah dua rakaat aku mengambil tempat mojok disalah satu tiang masjid menunggu shalat Isya berikutnya. Jamaah lain sudah pulang satu persatu ke rumah masing-masing. Tinggal seorang nenek yang khusyuk berdoa menengadahkan wajahnya ke langit-langit Masjid. Kemudian, sekilas ia melirikku dan tersenyum tipis.

“Tidak pulang, Nak?” Tanya Nenek itu sambil melipat sajadah lusuhnya. Menyalamiku dan mengambil posisi duduk tepat didepanku.

Beberapa detik kemudian kami bercengkrama akrab setelah masing-masing memperkenalkan diri. Berhubung kami berasal dari suku yang sama maka suasana jadi sangat akrab.
“Nenek lahir tahun 1929, alun merdeka Endonesia ini, Nak” Kata Nenek memulai ceritanya. Bibirnya sudah keriput seumuran dengan matanya yang sudah kelabu. Kulitnya yang hitam legam terbakar matahari menandakan ia pernah hidup dalam kesusahan. Tapi Nenek terlihat jauh lebih prima dari Nenekku yang umurnya jauh lebih muda.

“Nenek sudah lama ya tinggal di Batam? Dengan siapa?” Tanyaku.
“Sudah lebih satu tahun. Nenek tinggal dengan anak bungsu Nenek.” Jawab Nenek.

Anak bungsunya tersebut bekerja menerima jahitan dirumahnya dan suaminya berprofesi sebagai sopir angkot. Nenek sudah empat kali ke Batam dan kedatangannya kali ini untuk membantu mengurus persalinan anak keempat  Kak En, anak bungsu Nenek tersebut.

“Si En sekarang hidup dengan suami keduanya. Sama suami pertama tidak dikaruniai keturunan. Makanya mereka bercerai.” Cerita Nenek tentang kehidupan Kak En.

Kata Nenek, Kak En sudah berumah tangga dengan suami pertamanya lebih dari sembilan tahun, tapi belum dikaruniai anak. Tak ada awan tak ada mendung, saat mereka sedang makan siang terbetik ide konyol dari suami Kak En untuk menceraikan istrinya barang sebentar, setelah Kak En punya anak dari suami kedua, mereka bisa rujuk kembali, begitu perjanjiannya. Ide tersebut ditentang Kak En habis-habisan dan merasa harga dirinya diinjak-injak.
“Lagipula kan bertentangan dengan agama ya, kan Nak?” Tanya Nenek. Aku terpukau dengan cerita tersebut.
“Setelah berembuk dengan keluarga besar kami, Si En bersedia diceraikan tapi tak mau rujuk lagi dengan suaminya. Si En tersinggung berat dan…..”

“Trus Kak En menikah lagi dengan siapa Nek? Suaminya yang sekarang orang mana? Masih satu kampung?” Aku memburu Nenek dengan pertanyaan.
“Hush, dengar dulu ceritanya” Nenek protes karena aku memotong ceritanya. Kemudian dengan wajah serius, ia melanjutkan ceritanya yang terbengkalai tadi.

Tidak berapa lama kemudian, untuk menghilangkan kesedihannya Kak En pergi merantau ke Batam. Disini dia bertemu dengan jodoh keduanya, seorang sopir angkot yang berasal dari Padang dan mereka dikaruniai tiga orang anak disusul anak ke empat sekarang. Setelah punya momongan, Kak En berhenti bekerja di salah satu perusahaan elektronik di Batam dan membuka usaha jahitan dirumahnya. 

Mata Nenek mengerjap-ngerjap mengingat kenangan masa silam anaknya. Sesekali dia mengernyit meluruskan kaki kurusnya. Rematik Nenek kumat kalau duduk bersimpuh, kata Nenek.

“Suami pertama Kak En sudah menikah lagi, Nek? Tanyaku.
“Sudah. Dapat istri sudah tua janda lagi” Nenek mengangkat sedikit ujung bibirnya. Ada nada syukur disudutnya. Aku terkikik dalam hati.

“Sebelum dia menikah, dia pernah mencari En ke Batam untuk megajak rujuk lagi. Tapi En tidak mau. Diakan bukan orang bodoh, sudah dapat bujangan, baik dan sudah punya anak lagi, masak dia mau meninggalkan orang yang sudah disayang dan menyayanginya? Akhirnya Si Juned, mantan suaminya itu balik ke Padang dengan tangan kosong. Itu  karma buat dia. Sudah dapat istri baik, mau terima dia apa adanya meski tak bisa memberi keturunan, malah dicerai. Sekarang dapat janda tua yang cerewet” Kata Nenek.

Saya terkesan dengan cerita Nenek. Tak terasa waktu berlalu cepat dan segera menghampiri waktu Isya.
“Nenek dulu menikah umur dua empat. Anak umurnya berapa?” Tanya Nenek.
“Dua enam, Nek. Sudah tua ya. Belum laku, he..he..” aku cengengesan. “Umur dua empat zaman dulu bukannya sudah tua tuh, Nek?” Tanyaku.
“Iya, tapi Nenek tidak mau menikah cepat-cepat, soalnya Nenek dulu punya usaha sendiri sebagai penjual penganan kecil, jadi tidak memberatkan orang tua”
“Wah, berarti Nenek masih muda ya saat Indonesia merdeka?” Tanyaku.

“Oh, Nenek sudah menjalani semua kehidupan ini. Belanda, Nenek sudah merasakan kekejamannya, Jepang apalagi, dan PKI, itu zaman gelap dan mengerikan waktu itu.” Mata Nenek kembali menerawang. Bulu matanya yang memutih mengembun kelabu bergayut dimatanya yang sayu. Mukena yang dikenakannya miring kekanan. Satu persatu rambut putihnya mengintip dibalik mukena lusuhnya.
“Siapa yang paling kejam zaman itu, Nek? Jepang atau Belanda?” Tanyaku.
“Setiap penjajah itu pasti kejam, Nak. Kalau tidak, tak mungkin mereka menindas kita yang punya tanah air ini. Tapi yang paling kejam itu penjajah Jepang. Mereka suka mengambil gadis-gadis cantik untuk diri mereka. Dan memaksa para pemuda kerja rodi.”

“Tapi suasana yang paling mencekam itu dizaman PKI. Kita orang Islam tidak leluasa bergerak. Mereka membunuh kaum laki-laki apalagi yang punya pengetahuan agama.” Cerita Nenek. saya bergidik mendengarnya. Nenekku dikampung sering bercerita tentang sejarah penjajahan dulu. Aku senang sekali mendengar cerita sejarah Nenek. Sambil tidur-tiduran diruang keluarga, Nenek bercerita pengalamannya saat masih gadis kecil. Ketertindasan zaman Belanda, kekejaman tentara Jepang dan  suasana mencekam yang mengerikan di zaman PKI. Tiba-tiba aku merindukan cerita-cerita Nenekku kembali.

Cerita kami berakhir saat muadzin mengumandangkan shalat Isya. Anak-anak TPA yang mengaji dilantai dua sudah mulai turun. Nenek memegang pundakku, menatap mataku ragu.
“Ada bawa uang Nak, agak sedikit? Nenek butuh uang buat beli obat. Obat rematik Nenek sudah habis.” Ia memelankan suaranya saat beberapa jamaah ibu-ibu memasuki Masjid. Matanya menatapku penuh harap. Ah, mata itu. Aku merasa mengingat sesuatu, tapi perasaan ngilu mengiris mata dan hatiku. Aku tidak membawa uang sesenpun.

“Saya tidak bawa uang sedikitpun, Nek” Aku menjawab pelan meyakinkan dengan menatap jauh ketelaga keruh mata Nenek. Ia memalingkan muka dan beranjak ke shaf paling depan dan langsung melaksanakan shalat sunnah rawatib. Sikapnya seolah kami tak pernah bicara sebelumnya.

Ah, pandangan mata dan sentuhannya dipundakku mengingatkanku pada sesuatu, tapi aku lupa. Siapa? Dimana? Kuikuti jamaah lain mendirikan shalat sunnah dan langsung diikuti shalat Isya berjamaah. Saat salam dan menengok ke kiri, tak sengaja aku kembali menatap mata keruh itu. Ia menunduk seolah-olah tak lagi mengenalku, seolah diantara kami tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tertuju pada tas putih lusuh berbunga layu yang teronggok didepannya. Tas itu terlihat berisi penuh.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mata dan sentuhan itu pernah kurasakan beberapa minggu yang lalu. Saat aku dan seorang teman pergi menghadiri pertemuan mingguan kami disebuah halaqah di Masjid Raya Batam. Saat  keluar dari gang perumahan, seorang wanita tua mendekati kami dari arah berlawanan. Gamisnya berwarna putih lusuh, berbunga-bunga kecil yang terlihat layu dimakan usia. Jilbab putih yang membalut kepalanya pun sudah pudar. Ditangan kirinya menggantung tas berwarna senada dengan corak bunga-bunga kecil yang sama layunya dengan bunga pada gamisnya. Temanku tetap lanjut berjalan dengan cueknya. Si Nenek menghadangku, memegang kedua tanganku dan berkata memelas.

“Nak, berilah Nenek sedikit uang untuk ongkos ke Nongsa. Nenek mau menjenguk anak Nenek yang sedang sakit, tapi tidak punya ongkos” Ia masih memegang tanganku dan mendekapkan kedadanya. Mata kelabunya mengiris iba siapapun yang memandangnya. Wanita tua renta sebaya dengan Nenekku, memegang kedua tanganku dan mendekapkan kedadanya, siapa yang sanggup menolak? Kukeluarkan uang sepuluh ribu, dan kuselipkan diantara jemari keriputnya. Hanya itu yang bisa kuberikan, mengingat sudah beberapa bulan ini aku masih pontang panting mencari pekerjaan setelah beberapa bulan diwisuda. Masih mendekapkan tanganku kedadanya, kemudian ia berdoa; ‘Semoga pintu rezkimu bertambah luas dan diberikan jodoh yang baik’. Aku tersipu mendengarnya, disaat genting seperti ini, doa adalah mengobat hati yang paling mustajab.

Saat kembali menjejeri langkah temanku, barulah ia bercerita kenapa ia bersikap tak peduli pada Si Nenek. Pasalnya Si Nenek itu sering meminta uang dengan alasan yang sama, menjenguk anaknya yang sedang sakit dan rumah anaknya jauh di pinggiran kota. Ia sering berbohong seperti itu. Beberapa orang temanku juga menceritakan hal yang sama tentang Si Nenek. 

Seminggu kemudian, saat aku dan temanku berbelanja untuk kebutuhan mingguan kami dipasar, aku melihat Nenek tersebut sedang memilih-milih sayur. Temanku langsung menghindari sosok renta itu. Mataku masih tak mau berpaling darinya. Dari jauh kulihat Si Nenek sedang membeli seikat sayur kangkung yang sedari tadi dipilah-pilihnya. Kemudian dia membolak-balikkan isi tas lusuh berbunganya, mencari dompet, menemukan beberapa koin limaratusan. Seikat kangkung itu dibawanya dengan langkah pelan menghindari keramaian pasar, dan hilang diantara kerumunan penjual ikan.
Mata kelabu itu, aku mengingatnya. Mata yang sama saat menatapku beberapa menit lalu, memohon permintaan yang sama.

Ah, entahlah. Siapa sebenarnya Nenek itu? Buru-buru kumasukkan mukena kedalam tas, Nenek tadi sudah pulang dan juga jamaah lainnya. Tinggal aku sendiri yang ditunggui Marbot Masjid yang akan segera menutup pintu Masjid.

Dalam perjalanan pulang kepalaku rasanya mumet memikirkan identitas  Si Nenek. Kenapa ia selalu berbohong untuk meminta sedikit rupiah? Apa yang ada dalam tasnya yang selalu terlihat penuh? Bukankah ia tinggal bersama anaknya disini tak jauh dari Masjid Darul Ikhwan ini? Dan Nenek juga tidak cerita perihal anaknya yang tinggal di Nongsa. Kenapa Kak En membiarkan Ibunya meminta-minta seperti itu? Nenek itu tak bisa dikatakan muda lagi, umurnya hampir setua tenggelamnya kapal Titanic.
Entahlah. Bermacam prasangka berseliweran dikepalaku. Betapa banyak anak menelantarkan orang tua. Betapa banyak anak yang menjadikan Ibunya sebagai pembantu atau pengasuh anak-anaknya. Segala kemungkinan bisa terjadi di kota. Segala hal yang dianggap tabu di kampung yang masih memegang nilai-nilai moral menjadi hal yang biasa di kota. Ingin sekali aku melacak keberadaan Si Nenek, siapa ia sebenarnya, dengan siapa ia tinggal dan mengapa ia berbuat demikian?
Terbayang wajah sendu Ibuku. Kulit bening dan mata coklat Ibu yang kian rabun memuncakkan kerinduanku ke ubun-ubun. Ah, Seandainya Nenek itu adalah Ibuku, maka aku adalah manusia yang paling kejam didunia yang pernah ada.

Aku berharap masih bisa menemuinya sekali lagi, antara shalat Maghrib dan Isya. Disini, di Masjid Darul Ikhwan.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Al Israa’:23)
(Batam 22:00, berdasarkan pengalaman nyata saya)

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti