Tuesday, October 20, 2009

Trauma Tragedi 26 Dec 2004

                                        Bila Saatnya Tiba


       Desember 2004 adalah awal bencana yang mengguncang Indonesia dan kemudian berturut-turut bencana menimpa sepanjang pemerintahan Es Be Ye (nggak ada hubungannya, kan?). Aku masih ingat Desember 26 pukul 08:00 pagi, ketika bumi berguncang di NAD, aku masih diatas bus menuju kota Padang dari desa kelahiranku, South Coast. Aku tak merasakan apa-apa sampai aku didepan pemondokan kami tercinta, Wisma Alamanda III.
Teman-temanku berlomba bercerita berdasarkan informasi yang didengar disepanjang jalan kampus bahwa ada gempa besar di NAD. Sementara Illy sibuk memasang antenna dan menyambungkan ke komputernya. Pemondokan kami, sebutlah sebagai pesantren tanpa surat izin, sejak berdiri telah memfatwakan haram un0tuk kotak ajaib itu, namun karena berita yang menggemparkan untuk sementara dikeluarkan fatwa kontemporer dibolehkan menghidupkan TV dengan satu channel saja (Metro TV).
       Berminggu-minggu kami dicekam ketakutan dengan issue gempa akan datang melanda Sumatera Barat dengan pusat gempa di Pulau Mentawai-yang berarti berada dekat dengan desa kelahiranku-Pulau Mentawai akan tenggelam karena pergeseran lempeng akan menghantam body Pulau Mentawai yang sudah seperti cendawan. Bisa dibayangkan kecemasan melanda kami. Setiap malam kami mengencangkan jam tidur dari yang biasanya 6 jam menjadi 5 jam. Dan setiap jam 3 pagi setiap penghuni wisma yang berhalangan maupun tidak bangun untuk memanjatkan sekeping doa. Kami tidur seperti sedang menjalani latihan militer. Memakai baju kebesaran lengkap dengan rok longgar, celana kulot, baju panjang dari katun (ntar kalo hanyut massanya lebih ringan daripada kaos), jilbab instant, dan kaos kaki serta Qur’an kecil selalu berada dalam genggaman. Jika terjadi hal yang tak diinginkan, kami tinggal lari saja karena semua pintu (pintu kamar, pintu depan, pintu teras, pintu toilet dan pintu gerbang) tidak dikunci. Ketakutan dan harap menghantui kami sepanjang malam.
Aku masih mengejap-ngerjapkan mata memastikan apakah ini benar-benar kenyataan? Bencana Aceh saja masih merupakan sebuah mimpi bagiku, atau tepatnya mimpi buruk, dan sekarang bencana itu akan melanda daerahku sendiri. Yang ada dalam benakku saat itu adalah semua bencana itu takkan mungkin melanda daerahku. Pukul 01:30 dini hari, Illy menggedor-gedor pintu kamar kami yang berpenghuni tiga orang. Aku langsung melompat kebawah dan membangunkan dua teman lainnya. Illy menceritakan sesingkat mungkin bahwa ia dapat telpon dari temannya ada kabar akan terjadi tsunami jam 02:00 nanti. Berita itu datang dari pelaut yang baru pulang dari Singapore yang melihat air laut sudah surut sekitar 3 meter. Wisma Alamanda terdiri dari 3 lantai dan lantai dua yang kami tempati dihuni oleh hampir 30 akhwati yang manis-manis, saling berdesakan mencapai lantai bawah sambil menarik tangan yang lainnya. Terasa ukhuwah yang menyesakkan dada, diantara perjuangan mempertahankan hidup namun tak melupakan saudara seiman lainnya.
       Dibawah sudah menunggu warga lainnya dengan wajah pucat pasi. Kiamat akan segera menghampiri. Di jalan utama terdengar suara kendaraan lalu lalang, bising dan berlomba saling mendahului untuk mencari tempat tertinggi. Suara klakson mobil dan deruman sepeda motor yang tidak sabaran menambah bisingnya dini hari. Chiwen berteriak memanggil Mandeh, gelar yang disematkan untuk penghuni Alamanda yang dituakan. Yang dipanggil dengan santainya berjalan dikoridor lantai 1 menjinjing kaus kaki yang berbeda bentuk dan warna sambil cengengesan.
       Saat itu kami benar-benar buta oleh ketakutan dan tak sempat bermain dengan logika yang biasa diutak-atik untuk mencerna sesuatu yang berbau ilmiah. Watak intelek yang biasa digembor-gembor oleh sekelompok kaum muda yang menamakan dirinya mahasiswa takluk oleh ketakutan yang tak jelas asbabun nuzulnya. Bahkan Telkomsel dan Indosat pun dibuat sibuk oleh radiasi yang diciptakan, berlomba mencapai beberapa digit nomor tujuan untuk menghubungi sanak saudara sekedar meminta maaf atau mengucapkan selamat tinggal. Tak ketinggalan aku, langsung menghubungi kakakku di Jambi, meminta maaf dan terisak mengucapkan selamat tinggal dengan polosnya (aku tak bisa membayangkan wajah dodolku saat itu ). Detik-detik mendekati pukul dua dini hari, seseorang mengomando kami naik kelantai tiga wisma, karena tsunami sebentar lagi datang. Kami berjalan tertib menaiki anak-anak tangga, sepert sedang menyerahkan nasib kami pada samudera Hindia.
       Kos-kosan umum yang berada persis didepan rumah kami sebagian penghuninya sudah melarikan diri dengan sepeda motor yang dijemput oleh pacar-pacar mereka. Dalam kekalutan masih saja ada oknum yang bebuat nista-pikirku saat itu. Seorang ibu ikut menumpang mengungsi di wisma kami. Tertatih-tatih menggendong anaknya yang masih balita sambil menyeret karung yang berisi baju-baju dan selimut dan beberapa potong roti. Dalam keadaan genting seperti ini masalah perut jangan dilupakan, orang bisa saling membunuh hanya karena masalah perut dan dibawah perut. Kamar paling ujung dimanfaatkan untuk tempat shalat-meminta ampun pada Rabb disaat-saat terakhir masihkah diterima? Kematian itu datang tidak terduga dan mumpung masih ada waktu untuk menduga kami jatuh dalam khusyuk, tenggelam oleh air mata, mengiba mengharap ampunan jika kami tak selamat nantinya.
       Ketika subuh sudah menjelang, ayam berkokok dengan beraninya, menyadarkan kami akan mimpi buruk semalam. Beberapa orang sudah sadar akan ketololannya dan mulai meragukan ada tsunami tanpa gempa- teori praktis dari para pelaut yang buta astronomi-yang melihat air laut surut saat purnama. Setelah usai shalat subuh dimasjid kami melanjutkan kebiasan buruk tidur selepas subuh dengan alasan semalam habis begadang, lupa dengan alunan Raihan dengan tembang Peristiwa Subuh Hari nya yang biasa kami jadikan tameng untuk melawan rasa kantuk sehabis shalat subuh.
       Aku terlambat tiba di kampus. Kulihat dosen yang lumayan killer sudah berakting didepan kelas. Dengan senyum takut-takut, kuacungkan teluntuk minta izin bergabung dengan yang lainnya. Tiba-tiba sang dosen berhenti mendadak, dan menatapku dengan senyum dikulum, dan bertanya “semalam ngungsi kemana, Neng?”
       “Ngungsi kelantai tiga aja, Pak” jawabku polos.
      “Mahasiswa macam apa kalian ini? Masa percaya dengan gossip murahan seperti itu. Tsunami akan terjadi jika terjadi gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami, dan bla…bla..bla…. asal kalian tahu, saya mungkin satu dari 10 orang dikota Padang ini yang tidak terpengaruh oleh gosipkonyol deperti itu.” Katanya membanggakan diri.
                                                                   ***
       Memang, ketika ajal terasa sudah sampai di tenggorokan, sebagian orang yang ingkar akan hari akhir, bahwa akan ada hidup sesudah mati baru merasakan betapa mati itu menyakitkan…. Sebuah intropeksi diri bagi kami bahwa ketakutan akan menghilangkan akal sehat, sensor motorik tak lagi berfungsi dengan sadar bahkan setinggi apapun ilmu yang dicapai seseorang, ia tetap akan takluk pada ketakutan akan kematian.
       30 September 2009, pukul 17:16, bumipun berguncang di Ranah Minang. Sesuatu yang kami takuti terjadi didepan mata tanpa terduga. Dalam sekejap Padang dibuat porak-poranda. Aku hanya bisa mengikuti berita di TV karena sudah tiga tahun aku tinggal dipulau Batam. Aku tak bisa membayangkan wajah dodolku 5 tahun lalu jika ini terjadi didepan mataku. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan sanak saudara di Padang. Alhamdulillah…sanak saudara di kampung semuanya selamat walaupun sebagian rumahku runtuh. Dan merupakan sebuah keajaiban bagi kami, Wisma Alamanda 3 tetap berdiri kokoh padahal kebanyakan bangunan bertingkat nyaris roboh di kota Padang. Didalam sana sebuah lentera tak pernah padam mencetak generasi Rabbani yang disebut komunitas tarbiyah.
       Pernah suatu ketika, listrik padam dibeberapa jalur. Namun dari jalan utama terlihat Alamanda yang bertingkat tiga terang benderang dari kejauhan, padahal disekelilingnya gelap gulita. Ketika sampai didepan rumah baru disadari bahwa lampu memang benar-benar mati, dan cahaya terang dari jauh mungkin suatu pertanda bahwa disana adalah satu saksi tentang para pejuang yang InsyaAllah berjalan lurus di jalanNya.
Kita takkan pernah bisa mendahului atau menunda takdir kita. Tapi yang pasti kita diberi kesempatan untuk berusaha melakukan yang terbaik…….

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti