Saturday, March 6, 2010

Mencintai Langit

                               Untuk Dua Bintang Dalam  Hidupku
Sejak kecil aku mencintai langit, laut dan hutan. Sehabis maghrib setelah menyelesaikan rutinitas harian aku menarik kursi plastic hijau tua keteras rumah tua kami. Mematikan lampu neon di teras sehingga sekelilingnya gelap gulita. Aku menengadahkan kepala bersandar pada ujung sandaran kursi yang melengkung. Aku bersitatap dengan rembulan, bercengkrama dan saling menggoda. Rembulan bagiku mempunyai mata yang lebar dan indah. Kadang, rembulan menggodaku untuk mengejarnya, bermain ketaman nirwananya. Dan ketika kusadari, mataku pun berkaca.

Sebelum tidur, saat aku masih kanak-kanak, hampir setiap malam ibuku bercerita tentang rembulan. Bulan itu punya mata, kata ibu. “Ambilkan bulanbu”, adalah lagu pengantar tidurku. Atau lagu “bulan di pohon limau” yang dinyanyikan ibu dengan suara yang hampir seperti orang berbisik.
Langit bagiku seperti sebuah buku cerita bergambar. Narasinya ada dalam hatiku. Aku selalu membacanya dalam hati sambil mememejamkan mata, dan ketika mataku terbuka, dari celah-celah gorden sepasang mata memperhatikanku, mata ayahku.

Tiga Bintang
Dulu, aku selalu penasaran apa nama rasi bintang yang berjajar tiga itu. Tiga bintang yang setiap malam kulihat terbit disebelah selatan pada sore hari. Pagi hari saat subuh menjelang aku berlari keluar kearah dapur apakah bintang itu sekarang sedang berjalan ke utara atau ke timur. Namun sayang, bagian utara dan timur rumah kami tertutup pohon durian besar yang berumur puluhan tahun.
Aku masuk kerumah dengan putus asa. Dan ibuku tak bertanya gerangan apa yang membuat wajahku tiba-tiba menekuk. Beliau hanya memperhatikanku sambil tersenyum dan menyuruhku membangunkan ayah. Sampai aku berumur tujuh belas, aku tak pernah bosan menatap tiga bintang yang terkadang terbit diarah selatan atau mungkin (utara) itu.
Beberapa waktu aku melupakan langitku, sibuk dengan urusan kuliah. Dan lagipula kota Padang tidak seperti dirumah. Dimana-mana hanya ada bangunan tak terurus, dikomplek perumahan aku tinggal. Baru setelah aku bergabung dengan komunitas Alamanda 3 aku kembali menemukan langitku. Tinggal dilantai dua adalah impianku dari dulu agar aku bebas bercinta dengan langit. Jendela kamarku menghadap kesebelah timur. Jendelanya besar dengan kaca nako dan teralis besi sebagai pengaman. Lagipula aku mendapat ranjang yang strategis dua tingkat dan aku tingkat atasnya. Kamar dengan nomor 10 yang diketik dengan angka sebesar buah apel itu adalah kamar dambaan setiap penghuni Alamanda apabila ada sirkulasi pergantian penghuni.
Di Alamanda ada tradisi ganti kamar dan penghuni dengan memakai lotre yang diadakan setiap semester. Pertama, dipilih satu senior setiap kamar, kemudian sisanya mengambil lotre untuk mengundi siapa yang menempati kamar-kamar yang ada dalam nomor lotre tersebut. Penghuni dianggap sah menempati kamar yang ada di no undian itu apabila telah memenuhi syarat : tidak satu kampung/tidak satu jurusan dengan penghuni kamar yang sama.
Kebetulan, rekan sekamarku punya hobi yang sama denganku, bercinta dengan langit. Dan kami akan menghabiskan sisa malam weekend diatas ranjang atasku sambil bercerita, tentang langit, bulan dan bintang.
Ketika aku sedang resah, futur, dan iman makin melemah saat-saat akan datang rutinitas bulanan, aku akan duduk berlama-lama dibalkon depan kamarku, dengan sehelai kertas lusuh aku mencoba mendeskripsikan perasaan yang sedang melandaku. Saat itulah aku seperti terbang kemasa beberapa tahun silam saat aku mengukir namaku diam-diam disalah satu tiga bintang berjajar itu.
Aku sudah mengklaim 3 bintang itu adalah propertyku. Buktinya, dia tetap sama dalam posisinya, tak berubah walau sesentipun. Ia adalah milikku. Saat kuucapkan pada Shizuka, teman sekamarku, ia tertawa terbahak-bahak. Ukhty tulis dibintang yang mana nama ukhty itu? Tanya Shizuka. Aku menunjuk bintang yang ada ditengah, ia mengangguk, seperti seorang notaris yang sedang menandatangi beberapa dokumen.
Tiba-tiba aku ingat, sayang sekali hanya aku yang memiliki tiga bintang itu. Diam-diam kutulis nama seorang sahabat pada bintang diatas bintangku dengan huruf tarata (huruf yang hanya aku sendiri yang tahu modelnya, ha…ha..) -  “Ni-ning” dan nama “Ning-si” yang berada sedikit dibawah bintangku.

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti