Ketika Lapar....
Aku adalah
perantau Padang pada umumnya. Ketika beberapa anak gadis di kampungku merantau,
berpamitan dulu dengan orang tua, sanak keluarga dan tetangga diiringi isak
tangis adik-adik kecil. Tapi aku merantau ke Batam tanpa sepengetahuan orang
tua. Aku hanya bilang, ‘ Mak, Yah, jika aku tidak pulang dalam waktu dua bulan
ini dari Padang, berarti aku sudah berada di Batam’ pamitku sambil bercanda.
Ternyata
benar, tanpa balik dulu ke kampung halaman di South Coast aku angkat kaki dari
Padang Kota setelah genap 12 bulan jobless selepas kuliah. Ayahku hanya
memarahiku sambil bercanda ketika kutelpon bahwa aku sudah di Pulau Batam.
Bagaimanapun, orang tuaku sangat mempercayakan gerak kakiku melangkah karena
melihat dari background ku sewaktu masih ABG, aku adalah bocah yang baik J J
Saat
kongkalingkong kuliah di Kota Padang, aku sudah terbiasa mandiri dari segi
financial. Jika kebutuhanku sebulan 400 reben, aku paling menadah ke ortu 50
persennya, selebihnya aku putar otak
bagaimana cara menambal kebutuhan harian. Misalnya aku membuatkan
tugas-tugas teman kuliahku, sebagai imbalannya gratis makan siang dan makan
malam.
Aku
pernah menjadi baby sitter, dibayar Rp. 12 000 per hari. Menjadi asisten
seorang teman yang kewalahan memenej keuangannya, membuka jasa transalate
dengan membuat selebaran dan ditempel di mading masjid maupun kampus. Satu
lembar hasil translate dihargai Rp. 3500, satu lembar translate kadang butuh
waktu hampir satu jam mengerjakannya, apalagi beda disiplin ilmu makin komplekslah
tekhnik penerjemahannya, maklum masih amatiran – sampai sekarang.
Masalah
keuanganku sedikit lebih baik saat aku pindah ke pemondokan Alamanda 3. Dengan
seorang teman, kami mulai bisnis kecil-kecilan. Dengan modal kecil kami mencoba
membuat penganan kecil yang dijual masih dalam pemondokan. Keuntungannya
sedikit lumayan untuk ongkos pulang pergi kuliah. Jika modalku cukup, aku juga
menjual aneka kebutuhan akhwat, mulai dari manset, kaos kaki, pernak-pernik
jilbab, sapu tangan dan majalah-majalah second. Daganganku kupajang diruang
tamu pemondokan, kadang iseng-iseng ba’da ashar aku menggelar daganganku
dibalkon lantai.
Dulu,
saking inginnya makan sate padang, dan tidak ada satu sen pun dalam kantongku,
aku hampir frustasi memikirkan apa yang harus kulakukan. Modal kandas, kantong
kempes, pulsa seret, akhirnya aku cuma nongkrong depan kampus memperhatikan
orang lewat. Silih berganti tanpa kusadari aku telah duduk bengong selama 3 jam
di pos security. Tiba-tiba To mengagetkanku, melemparkan daun-daun cemara
kepelukanku. To, adalah pacar sahabatku, meskipun aku dan sahabatku, Nink,
selalu memperingatkannya bahaya pacaran, apalagi To adalah seorang pencandu,
Shi malah berkilah bahwa ini hanya ide cemerlangnya agar kami bisa melahap
martabak mesir gratis tiap malam Jumat dan malam mingguan.
Kenyataannya,
tanpa kusadari aku ikut menikmati ritual Shi setiap malam Jumat dan malam
Minggu, dua kali seminggu paling tidak aku sudah mencicipi sate Padang dan
martabak Mesir.
“Kok
bengong, Jeng? (Jeng, nama panggilanku dikampus)” Kak To mengibaskan tangannya
didepan mataku.
“Lagi
mikir masa depan, Kak” Jawabku.
Ia
melirik arlojinya, “Makan, yuk.” Seperti biasa ia suka sekali mentraktir kami
bertiga, dan sekarang aku canggung karena seorang diri. Meski Kak To adalah
teman baik kami - ia sering curhat tentang masalah keluarganya yang amburadul,
aku merasa risih jika hanya berdua.
“Makan,
makan, makan….yokkk” Ia melemparkan segenggam daun cemara kering ke atas
kepalaku, karena jika menarik tanganku itu tak mungkin.
Berpikir
sebentar, aku menggeleng.
“Ayolah,
ada yang mau kutanyakan”
Tanpa
menunggu tawaran ketiga, aku langsung berdiri, melenggang santai ke warung nasi
seberang jalan tempat kami biasa nongkrong. Kak To memesankan nasi goreng
komplit dua piring dan jus lemon dan sekotak permen pewangi. Seumur hidup, aku
belum pernah makan nasi goreng jajanan karena aku tidak suka makanan yang ada
nasinya. Karena lapar, tanpa ba bi bu aku langsung menyantap nasi goreng di
depanku sambil sesekali menjawab pertanyaan Kak To dengan dua kata saja, ya
atau tidak. Tak ada sate, nasi gorengpun jadi, pikirku.
Kak To
sedang dibakar api cemburu, maka ia mengorek keterangan sedetail mungkin untuk
memastikan apakah Shi benar-benar selingkuh. Aku hanya menjawab asal dan terkadang
menjawab tanpa perasaan. Aku berusaha mempersingkat makanku dan cabut secepat
mungkin dari hadapan Kak To. Aku merasa tidak enak mengenakan jilbab selebar
1,25 cm dan duduk berhadapan dengan seorang pecandu. Tapi aku merasa tidak enak
dengan Kak To karena teman dekat Kak To bilang Kak To bakal kembali ke kekasih
lamanya – nge ganja- jika Shi sampai memutuskannya.
Setiba
dirumah, aku benar-benar merasa seperti orang dungu yang baru pulang dari mal
dan turun dari lantai 13 dengan lift berputar, maka dunia sepertinya sedang
mengejekku. Perutku serasa melilit sampai ke paru-paru, cabe rawit yang ku
telan 3 biji itu sudah mulai bereaksi………..
No comments:
Post a Comment