Monday, March 15, 2010

Nasi Goyenk

                                           Ketika Lapar....
Aku adalah perantau Padang pada umumnya. Ketika beberapa anak gadis di kampungku merantau, berpamitan dulu dengan orang tua, sanak keluarga dan tetangga diiringi isak tangis adik-adik kecil. Tapi aku merantau ke Batam tanpa sepengetahuan orang tua. Aku hanya bilang, ‘ Mak, Yah, jika aku tidak pulang dalam waktu dua bulan ini dari Padang, berarti aku sudah berada di Batam’ pamitku sambil bercanda.
Ternyata benar, tanpa balik dulu ke kampung halaman di South Coast aku angkat kaki dari Padang Kota setelah genap 12 bulan jobless selepas kuliah. Ayahku hanya memarahiku sambil bercanda ketika kutelpon bahwa aku sudah di Pulau Batam. Bagaimanapun, orang tuaku sangat mempercayakan gerak kakiku melangkah karena melihat dari background ku sewaktu masih ABG, aku adalah bocah yang baik J J
Saat kongkalingkong kuliah di Kota Padang, aku sudah terbiasa mandiri dari segi financial. Jika kebutuhanku sebulan 400 reben, aku paling menadah ke ortu 50 persennya, selebihnya aku putar otak  bagaimana cara menambal kebutuhan harian. Misalnya aku membuatkan tugas-tugas teman kuliahku, sebagai imbalannya gratis makan siang dan makan malam.
Aku pernah menjadi baby sitter, dibayar Rp. 12 000 per hari. Menjadi asisten seorang teman yang kewalahan memenej keuangannya, membuka jasa transalate dengan membuat selebaran dan ditempel di mading masjid maupun kampus. Satu lembar hasil translate dihargai Rp. 3500, satu lembar translate kadang butuh waktu hampir satu jam mengerjakannya, apalagi beda disiplin ilmu makin komplekslah tekhnik penerjemahannya, maklum masih amatiran – sampai sekarang.
Masalah keuanganku sedikit lebih baik saat aku pindah ke pemondokan Alamanda 3. Dengan seorang teman, kami mulai bisnis kecil-kecilan. Dengan modal kecil kami mencoba membuat penganan kecil yang dijual masih dalam pemondokan. Keuntungannya sedikit lumayan untuk ongkos pulang pergi kuliah. Jika modalku cukup, aku juga menjual aneka kebutuhan akhwat, mulai dari manset, kaos kaki, pernak-pernik jilbab, sapu tangan dan majalah-majalah second. Daganganku kupajang diruang tamu pemondokan, kadang iseng-iseng ba’da ashar aku menggelar daganganku dibalkon lantai. 
Dulu, saking inginnya makan sate padang, dan tidak ada satu sen pun dalam kantongku, aku hampir frustasi memikirkan apa yang harus kulakukan. Modal kandas, kantong kempes, pulsa seret, akhirnya aku cuma nongkrong depan kampus memperhatikan orang lewat. Silih berganti tanpa kusadari aku telah duduk bengong selama 3 jam di pos security. Tiba-tiba To mengagetkanku, melemparkan daun-daun cemara kepelukanku. To, adalah pacar sahabatku, meskipun aku dan sahabatku, Nink, selalu memperingatkannya bahaya pacaran, apalagi To adalah seorang pencandu, Shi malah berkilah bahwa ini hanya ide cemerlangnya agar kami bisa melahap martabak mesir gratis tiap malam Jumat dan malam mingguan.
Kenyataannya, tanpa kusadari aku ikut menikmati ritual Shi setiap malam Jumat dan malam Minggu, dua kali seminggu paling tidak aku sudah mencicipi sate Padang dan martabak Mesir.
“Kok bengong, Jeng? (Jeng, nama panggilanku dikampus)” Kak To mengibaskan tangannya didepan mataku.
“Lagi mikir masa depan, Kak” Jawabku.
Ia melirik arlojinya, “Makan, yuk.” Seperti biasa ia suka sekali mentraktir kami bertiga, dan sekarang aku canggung karena seorang diri. Meski Kak To adalah teman baik kami - ia sering curhat tentang masalah keluarganya yang amburadul, aku merasa risih jika hanya berdua.
“Makan, makan, makan….yokkk” Ia melemparkan segenggam daun cemara kering ke atas kepalaku, karena jika menarik tanganku itu tak mungkin.
Berpikir sebentar, aku menggeleng.
“Ayolah, ada yang mau kutanyakan”
Tanpa menunggu tawaran ketiga, aku langsung berdiri, melenggang santai ke warung nasi seberang jalan tempat kami biasa nongkrong. Kak To memesankan nasi goreng komplit dua piring dan jus lemon dan sekotak permen pewangi. Seumur hidup, aku belum pernah makan nasi goreng jajanan karena aku tidak suka makanan yang ada nasinya. Karena lapar, tanpa ba bi bu aku langsung menyantap nasi goreng di depanku sambil sesekali menjawab pertanyaan Kak To dengan dua kata saja, ya atau tidak. Tak ada sate, nasi gorengpun jadi, pikirku.
Kak To sedang dibakar api cemburu, maka ia mengorek keterangan sedetail mungkin untuk memastikan apakah Shi benar-benar selingkuh. Aku hanya menjawab asal dan terkadang menjawab tanpa perasaan. Aku berusaha mempersingkat makanku dan cabut secepat mungkin dari hadapan Kak To. Aku merasa tidak enak mengenakan jilbab selebar 1,25 cm dan duduk berhadapan dengan seorang pecandu. Tapi aku merasa tidak enak dengan Kak To karena teman dekat Kak To bilang Kak To bakal kembali ke kekasih lamanya – nge ganja- jika Shi sampai memutuskannya.
Setiba dirumah, aku benar-benar merasa seperti orang dungu yang baru pulang dari mal dan turun dari lantai 13 dengan lift berputar, maka dunia sepertinya sedang mengejekku. Perutku serasa melilit sampai ke paru-paru, cabe rawit yang ku telan 3 biji itu sudah mulai bereaksi………..

                                                                                                                                              

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti