Sebuah Akhiran
Penasaran
dengan daily info yang dikirim 2 kali sehari itu, kubuka buku informasi seperti
petunjuk dalam email dari Bos (Leader Staff) yang tertulis:
Sampai
pagi menunggu pergantian shift kepalaku sudah dipenuhi oleh bermacam-maca
prasangka. Performa kerja? Apakah kerjaku tidak bagus? Apakah ada masalah dengan
absenku? Apakah normal shiftku beberapa kali dalam sepekan ada masalah? Dan
bla…bla….bla….
Dan
paginya ketika meeting dengan Bos serasa tulang ku lemas seketika. Hanya ada
dua opsi tentang eksistensiku diperusahaan ini: mengikuti schedule shift OT
(over time) 7-7 atau resign secara baik-baik. Meskipun Bos tidak bilang secara
langsung, namun aku sangat memahaminya.
Aku
bekerja disebuah perusahaan di Pulau Batam di bagian produksi dan merangkap
sebagai mahasiswa di salah satu universitas. Kerjaku bukanlah kerja paruh waktu
sebagaimana umumnya, tapi aku harus total menyerahkan raga dan waktuku seperti
karyawan lainnya. Berakting dibagian production berarti bekerja mengikuti shift
yakni pagi dan malam. Normal kerja adalah 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Dan sialnya di production karena demand yang tinggi mengharuskan karyawannya
untuk bekerja over time (OT) 7-7. Masuk kerja jam 7 pulang jam 7, separuh jiwamu
ada di PT.
Selama 2
tahun terakhir kuliah, aku minta keringanan ke atasanku untuk diizinkan normal
shift beberapa kali dalam sepekan mengikuti schedule kuliah. Dan selama dua
tahun terakhir ini tidak ada masalah. Karena secara kinerja tidak akan berpengaruh
ke manufacturing jika aku normal shift selama ada yang me-replace pekerjaanku.
Dan kenyataanya, yang kuketahui, semua teman-teman dalam team cukup mendukung
walaupun ada satu dua orang yang gondok.
Semenjak
menginjakkan kakiku pertama kali di pulau Batam ini aku sudah bertekad untuk
meng-konversi kuliahku dari D3 ke S1 tanpa mengemis pada orang tua. Dua tahun
aku berduel dengan waktu yang sedikit, 24 jam sehari, aku hanya menunggu 3
bulan lagi untuk mengukuhkan bahwa aku layak menjadi seorang tenaga pendidik.
Seminar proposalku Alhamdulillah lancar dan tinggal penelitian dan penulisan
skripsi saja.
Tapi pagi
ini aku harus menghadapi kenyataan pahit, sesuatu menendang ulu hatiku, nyeri
sekali. Bos, dengan kalimat yang sangat hati-hati melarangku untuk masuk normal
shift lagi dengan alasan kuliah atau skripsi dan meminta Co. Leadernya untuk
melarangku jika minta izin normal shift dengan alasan kuliah.
“Mujib,
Uny tidak melarang Mujib kuliah, tapi sesuaikanlah dengan schedule perusahaan
agar Mujib bisa mengikuti shift seperti leader lainnya mengikuti shift
operator. Ini atas permintaan Pak Bos (supervisor)” Uny Ina yang sering kami
panggil Bos itu menjelaskan dengan lembut.
“Pak Bos
yakin Mujib bisa bekerja dengan baik, tapi bagaimanapun, pasti dari team ada
yang gondok dengan schedule kuliah Mujib. Jadi beliau minta Mujib bisa
menyesuaikan jam kerja dengan kuliah” Ia menambahkan.
“Sebab
pasti ada yang complaint kok Mujib bisa masuk kerja normal sementara member
(operator) lain tidak bisa? Jika ada member yang kuliah, Mujibpun tidak bisa
melarang mereka untuk masuk normal juga. Jangan karena Mujib leader, Mujib bisa
masuk normal, sementara yang lain tidak bisa. Nah, mereka juga pasti akan
complaint seperti itu, kan?”
Aku hanya
mengangguk, pura-pura paham. Padahal aku tidak habis pikir kenapa sekarang
dipermasalahkan, disaat-saat semester terakhirku.
“Aku
paham, Uny…” Hanya itu kata-kata yang keluar dari kerongkonganku.
“Uny
sudah menyarankan sama Pak Bos, Mujib diturunkan jadi clerk saja, karena clerk
waktu kerjanya flexible dan tidak terikat over time, tapi Pak Bos menolak
khawatir ditolak sama Pak D (manager).”
Uny Ina
yang baik, seumur hidup, hanya dalam dirinyalah kutemukan karakter seorang
pemimpin yang mendekati garis perfect. Berwibawa, sangat ‘manusiawi’, toleran,
humoris, cerdas dan bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dialah yang selalu
memberikanku keringanan dalam soal kuliah. Aku banyak belajar darinya. Tapi
untuk yang satu ini, ia tidak bisa menolongku.
“Nah, Uny
Aty…” kata Uny Ina pada Uny Aty – co. leadernya. “Jangan izinkan Mujib untuk
tidak overtime, pulang jam 5 pada shift pagi dan masuk jam 9 pada shift malam
karena alasan kuliah maupun skripsi. Jam kerja leader disamakan dengan jam
kerja member” Uny Ina menutup meetingnya di pagi itu. Aku hanya berdoa dalam
hati, semoga diluar sana tidak turun hujan.
Satu
pelajaran penting dapat kutarik hari ini adalah “Berikanlah kepercayaan pada temanmu, tapi jangan mengambil semua
kepercayaan darinya”. Kupikir, selama ini jika ada yang jengkel dengan scheduleku, hanyalah berupa omelan belaka, tapi aku yakin teman-teman kerjaku adalah orang-orang yang luar biasa, meskipun mereka sedikit terganggu dengan aktifitasku mereka selalu meluangkan waktu untuk menolongku (makasih yah), tapi bagaimanapun tetaplah semua orang punya urusan pribadi masing-masing. Aku hanya bisa pasrah. Padahal,
jika dipikir aku hanya meminta keringanan
untuk pulang 75 menit lebih awal pada shift pagi dan 180 menit pada shift
malam. Dan itupun tidak berdampak pada kinerja produksi selama masih ada leader
yang support dan aku tidaklah melanggar aturan perjanjian jam kerja.
Mungkin juga Pak D marah dengan attedance ku yang buruk tahun ini, aku jarang ikut OT di hari wajib dan banyak unpaid pula tiap bulan. Dan mungkin juga Pak D pikir aku unpaid karena alasan kuliah, padahal kebanyakan aku unpaid karena setiap bulan aku menderita PMS akut (Pra Menstruation Syndrome). Teman-temanku menyarankan untuk ambil MC di rumah sakit terdekat, tapi apa daya, jangankan ke rumah sakit, ke toiletpun aku merangkak.
Dan pada akhirnya
aku mengambil keputusan bulat, resign secepatnya. Aku tidak mau mengorbankan
kuliahku yang hanya tinggal 3 bulan lagi. Dan aku juga tidak mau menzalimi
teman kerjaku jika ada yang merasa terganggu dengan schedule kuliahku. semua haruslah adil. Keadilan
dalam versi menyamaratakan semua, bukan keadilan meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Dan mungkin juga Pak D murka melihat attedanceku yang amburadul di matanya. Apapun alasannya, tetap ada sesuatu yang menyodok ulu hatiku.
Pada akhirnya
aku mencoba untuk mengikhlaskan semua, hidup memang butuh perjuangan toh? Dan dalam
hidup mustahil jika tidak ada persaingan. Toh, aku sudah terbiasa dengan
kesulitan sejak kuliah semester pertama di kota Padang. Kesulitan yang sangat
maniisss.
“Ketika
kehidupan memberimu seribu alasan untuk menangis, yakinlah, Allah punya seribu alas
an untuk membuatmu tertawa, dalam hidup butuh perjuangan, dalam cinta butuh
pengorbanan…..” (SMS dari seorang sahabat)
No comments:
Post a Comment