Wednesday, April 7, 2010

Pada Akhirnya.....

                         Sebuah Akhiran
Penasaran dengan daily info yang dikirim 2 kali sehari itu, kubuka buku informasi seperti petunjuk dalam email dari Bos (Leader Staff) yang tertulis:
Meeting dengan Mujib: performance kerja – attedance
Sampai pagi menunggu pergantian shift kepalaku sudah dipenuhi oleh bermacam-maca prasangka. Performa kerja? Apakah kerjaku tidak bagus? Apakah ada masalah dengan absenku? Apakah normal shiftku beberapa kali dalam sepekan ada masalah? Dan bla…bla….bla….
Dan paginya ketika meeting dengan Bos serasa tulang ku lemas seketika. Hanya ada dua opsi tentang eksistensiku diperusahaan ini: mengikuti schedule shift OT (over time) 7-7 atau resign secara baik-baik. Meskipun Bos tidak bilang secara langsung, namun aku sangat memahaminya.
Aku bekerja disebuah perusahaan di Pulau Batam di bagian produksi dan merangkap sebagai mahasiswa di salah satu universitas. Kerjaku bukanlah kerja paruh waktu sebagaimana umumnya, tapi aku harus total menyerahkan raga dan waktuku seperti karyawan lainnya. Berakting dibagian production berarti bekerja mengikuti shift yakni pagi dan malam. Normal kerja adalah 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Dan sialnya di production karena demand yang tinggi mengharuskan karyawannya untuk bekerja over time (OT) 7-7. Masuk kerja jam 7 pulang jam 7, separuh jiwamu ada di PT.
Selama 2 tahun terakhir kuliah, aku minta keringanan ke atasanku untuk diizinkan normal shift beberapa kali dalam sepekan mengikuti schedule kuliah. Dan selama dua tahun terakhir ini tidak ada masalah. Karena secara kinerja tidak akan berpengaruh ke manufacturing jika aku normal shift selama ada yang me-replace pekerjaanku. Dan kenyataanya, yang kuketahui, semua teman-teman dalam team cukup mendukung walaupun ada satu dua orang yang gondok.
Semenjak menginjakkan kakiku pertama kali di pulau Batam ini aku sudah bertekad untuk meng-konversi kuliahku dari D3 ke S1 tanpa mengemis pada orang tua. Dua tahun aku berduel dengan waktu yang sedikit, 24 jam sehari, aku hanya menunggu 3 bulan lagi untuk mengukuhkan bahwa aku layak menjadi seorang tenaga pendidik. Seminar proposalku Alhamdulillah lancar dan tinggal penelitian dan penulisan skripsi saja.
Tapi pagi ini aku harus menghadapi kenyataan pahit, sesuatu menendang ulu hatiku, nyeri sekali. Bos, dengan kalimat yang sangat hati-hati melarangku untuk masuk normal shift lagi dengan alasan kuliah atau skripsi dan meminta Co. Leadernya untuk melarangku jika minta izin normal shift dengan alasan kuliah.
“Mujib, Uny tidak melarang Mujib kuliah, tapi sesuaikanlah dengan schedule perusahaan agar Mujib bisa mengikuti shift seperti leader lainnya mengikuti shift operator. Ini atas permintaan Pak Bos (supervisor)” Uny Ina yang sering kami panggil Bos itu menjelaskan dengan lembut.
“Pak Bos yakin Mujib bisa bekerja dengan baik, tapi bagaimanapun, pasti dari team ada yang gondok dengan schedule kuliah Mujib. Jadi beliau minta Mujib bisa menyesuaikan jam kerja dengan kuliah” Ia menambahkan.
“Sebab pasti ada yang complaint kok Mujib bisa masuk kerja normal sementara member (operator) lain tidak bisa? Jika ada member yang kuliah, Mujibpun tidak bisa melarang mereka untuk masuk normal juga. Jangan karena Mujib leader, Mujib bisa masuk normal, sementara yang lain tidak bisa. Nah, mereka juga pasti akan complaint seperti itu, kan?”
Aku hanya mengangguk, pura-pura paham. Padahal aku tidak habis pikir kenapa sekarang dipermasalahkan, disaat-saat semester terakhirku.
“Aku paham, Uny…” Hanya itu kata-kata yang keluar dari kerongkonganku.
“Uny sudah menyarankan sama Pak Bos, Mujib diturunkan jadi clerk saja, karena clerk waktu kerjanya flexible dan tidak terikat over time, tapi Pak Bos menolak khawatir ditolak sama Pak D (manager).”
Uny Ina yang baik, seumur hidup, hanya dalam dirinyalah kutemukan karakter seorang pemimpin yang mendekati garis perfect. Berwibawa, sangat ‘manusiawi’, toleran, humoris, cerdas dan bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dialah yang selalu memberikanku keringanan dalam soal kuliah. Aku banyak belajar darinya. Tapi untuk yang satu ini, ia tidak bisa menolongku.
“Nah, Uny Aty…” kata Uny Ina pada Uny Aty – co. leadernya. “Jangan izinkan Mujib untuk tidak overtime, pulang jam 5 pada shift pagi dan masuk jam 9 pada shift malam karena alasan kuliah maupun skripsi. Jam kerja leader disamakan dengan jam kerja member” Uny Ina menutup meetingnya di pagi itu. Aku hanya berdoa dalam hati, semoga diluar sana tidak turun hujan.
Satu pelajaran penting dapat kutarik hari ini adalah “Berikanlah kepercayaan pada temanmu, tapi jangan mengambil semua kepercayaan darinya”. Kupikir, selama ini jika ada yang jengkel dengan scheduleku, hanyalah berupa omelan belaka, tapi aku yakin teman-teman kerjaku adalah orang-orang yang luar biasa, meskipun mereka sedikit terganggu dengan aktifitasku mereka selalu meluangkan waktu untuk menolongku (makasih yah), tapi bagaimanapun tetaplah semua orang punya urusan pribadi masing-masing. Aku hanya bisa pasrah. Padahal, jika dipikir aku hanya meminta keringanan untuk pulang 75 menit lebih awal pada shift pagi dan 180 menit pada shift malam. Dan itupun tidak berdampak pada kinerja produksi selama masih ada leader yang support dan aku tidaklah melanggar aturan perjanjian jam kerja.
Mungkin juga Pak D marah dengan attedance ku yang buruk tahun ini, aku jarang ikut OT di hari wajib dan banyak unpaid pula tiap bulan. Dan mungkin juga Pak D pikir aku unpaid karena alasan kuliah, padahal kebanyakan aku unpaid karena setiap bulan aku menderita PMS akut (Pra Menstruation Syndrome). Teman-temanku menyarankan untuk ambil MC di rumah sakit terdekat, tapi apa daya, jangankan ke rumah sakit, ke toiletpun aku merangkak.
Dan pada akhirnya aku mengambil keputusan bulat, resign secepatnya. Aku tidak mau mengorbankan kuliahku yang hanya tinggal 3 bulan lagi. Dan aku juga tidak mau menzalimi teman kerjaku jika ada yang merasa terganggu dengan schedule kuliahku. semua haruslah adil. Keadilan dalam versi menyamaratakan semua, bukan keadilan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan mungkin juga Pak  D  murka melihat attedanceku yang amburadul di matanya. Apapun alasannya, tetap ada sesuatu yang menyodok ulu hatiku.
Pada akhirnya aku mencoba untuk mengikhlaskan semua, hidup memang butuh perjuangan toh? Dan dalam hidup mustahil jika tidak ada persaingan. Toh, aku sudah terbiasa dengan kesulitan sejak kuliah semester pertama di kota Padang. Kesulitan yang sangat maniisss.
“Ketika kehidupan memberimu seribu alasan untuk menangis, yakinlah, Allah punya seribu alas an untuk membuatmu tertawa, dalam hidup butuh perjuangan, dalam cinta butuh pengorbanan…..” (SMS dari seorang sahabat)


No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti