Thursday, July 15, 2010

Aku Gadis Bisu dan Tuli

Aku Gadis Bisu dan Tuli

Namaku Khaleeda Rasyid, umurku baru 12 tahun, tapi wartawan pirang itu bilang aku sudah dewasa sebelum waktunya. Oh, ya? Kurasa aku seperti anak Palestina lainnya, imut, putih, lucu dan tentu saja pemberani, begitu kata Om wartawan dari Al Jazeera itu. Om wartawan itu baik sekali, dia memotretku ketika sedang mengumpulkan batu-batu kecil di Ghausy Khatiq. Hassan memecahkannya dengan palu besi. Batu sebesar kepalaku itu pecah berkeping menjadi bongkahan sebesar kelereng. Ia tersenyum sumringah sambil memamerkan aksinya pada Om wartawan itu. Hassan sangat lucu sekali, ia adalah anak lelaki periang diantara kami meskipun ayah dan ibunya sudah pergi ke syurga. Sekarang Hassan tinggal bersama kami.

Hassan bilang, ia ingin seperti Muhammad Al Durra, yang syahid diberondong peluru Israel biadab. Atau seperti Yahya Ayyash, yang potret lusuhnya selalu dibawah bantal Hassan. Sebelum berangkat tidur, Hassan selalu memandangi gambar Yahya Ayyash yang diguntingnya dari sebuah koran lama. Ia tersenyum seolah-olah sedang menjanjikan sesuatu. Aku selalu bertanya padanya, kenapa ia tidak memandang potret ayah dan ibunya sebelum tidur. Mereka sudah tenang disana, jawab Hassan, setiap kali aku bertanya tentang gambar lusuh itu.
“Kamu ingin seperti siapa, Khaleeda?” Tanya Hassan suatu ketika.
Aku ingin seperti Rida Saleh! Aku berteriak dalam hati, memamerkan potret-potret pahlawan Palestina yang ku tempel di buku pelajaran mengarangku. Hassan tertawa.
“Tidakkah kau ingin seperti Dareen Abou Aisha?”
Aku mengerjapkan mataku.
“Dia akan memberi nilai sembilan dalam mata pelajaran bahasa Inggrismu”
Aku menuliskan kata “yeah” dibuku ku. Hassan tertawa.
“Khaleeda, Hassan, ayo kita mengumpulkan batu-batu lagi” Ghadir berteriak dari kejauhan. Menenteng sebongkah batu sebesar buah melon. Kubulatkan mataku sambil terus menatap langit senja. Bertanya dengan bahasa isyarat karena malam sudah menjemput.
“Besok Yahudi laknat itu akan ke Navieh Dakalim” kata Hakeem, menjawab pertanyaan dari sudut mataku.
Berempat kami menyusuri puing-puing rumah yang runtuh akibat terjangan rudal Israel. Mencabik asaku merajut hari bersama Ummi. Ummi ditembak oleh tentara Israel tanpa alasan yang jelas. Memudarkan semua mimpi dan hariku.
“Kamu masih memikirkan Ummi mu?” Tanya Hassan yang melihatku melamun diatas puing-puing rumah paman Hisyam. Kututup mataku dengan kedua tanganku. Aku tak kuasa menahan pedih setiap kali melihat darah yang mengalir deras ke tanah, walaupun aku tak bisa berteriak, menyemburkan semua api dalam dadaku.
Hassan terus menatapku. Tubuh kecilnya memeluk tanganku. Kehangatan tangannya makin mengobarkan api dalam dadaku. Dulu, ketika Hassan masih bayi, ibunya ditembak oleh tentara Israel ketika sedang shalat. Ibuku menutup mataku saat aku berteriak menyaksikan tubuh Ummu Hassan tercabik-cabik. Sementara ayah Hassan, Paman Sulaiman, ditarik keluar rumah dengan seutas tali tambang dan ditarik secara biadab dengan mobil patroli mereka. Paman Sulaiman dicurigai anggota inti sayap militer pembebasan AlQuds, begitu bisi-bisik yang kudengar. Sejak itu Hassan diasuh dan disusui ibuku, berebut menyusui dengan Ahmad adikku.
Dulu, aku masih bisa mendengar dentuman rudal, ledakan bom dan auman buldoser yang meratakan tubuh adikku Ahmad, ketika dia sedang memungut batu-batu kecil yang akan dilemparkannya kearah tank-tank Yahudi. Oh, sekuat apakah batu-batu kecilmu adikku? Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Abi yang kedua kakinya buntung terkena serpihan bom.
Aku tak ingat lagi atau tepatnya berusaha tidak mengingat kejadian itu. Saat tubuh Ahmad lumat dalam amukan buldoser, Ummi yang tubuhnya hancur berkeping-keping saat terkena ledakan panas itu, abi yang kedua kakinya direnggut oleh sisa-sisa serpihan bom yang meledak dibawah kaki Ummi, dan aku tak ingat apa-apa lagi sampai aku tahu dunia ini sunyi senyap ternyata.
Dunia ini tak lebih dari sebongkah batu bisu, tuli tak bertelinga. Orang-orang membiarkan aku begitu, hidup tanpa kebisingan sejak darah segar itu mengalir hangat dikedua telingaku. Seperti film tanpa suara, itulah yang kurasakan setelah peristiwa yang mengerikan itu. Saat kusadari ketidak berdayaan ini, lengan baju sebelah kiri Hassanpun tak tersisa, buntung, seperti hatiku selamanya. Padahal beberapa detik sebelumnya aku masih melihat tingkah jenaka Hassan saat berkejaran dengan Ahmad, bermain perang-perangan dengan batu-batu kecilnya.
Dan aku memutuskan untuk tidak bersuara dan takkan pernah mencoba berbicara selamanya, seperti dunia yang bisu ini. Meskipun bibir Abi mengisyaratkan aku untuk mengucapkan satu patah kata dengan linangan air mata, berlutut dihadapanku, namun hatiku kelu dan lidahku kaku. Aku memang tuli sejak itu dan biarkanlah aku bisu, seperti kebanyakan orang-orang di luar sana.
Duhai kesakitan, apalagi yang harus dilakukan selain berjuang? Daripada mati sia-sia kelaparan, diinjak harga dirinya, dirampas jiwanya, maka Mukmin yang baik adalah yang mencita-citakan syahid, kata Abi ketika aku sering pulang larut membawa sekantung batu-batu kecil.
Kulihat Ghadir masih mengumpulkan batu-batu kecil dibawah timbunan bata. Matanya masih merah dan sembab, ia masih trauma dengan kematian Raghad Al Ghidd, saudara perempuannya. Raghad adalah teman sekelasku di Khan Yunis. Peluru Zionis itu memecahkan kepala Raghad saat ia berdiri menjawab pertanyaan guru dan dia tidak sempat tiarap. Buku putihnya berlumuran darah sebelum Bu Guru Yasmin menorehkan angka diatas kertasnya.
“Khaleeda, apakah kamu suka bintang?” tiba-tiba Ghadir sudah dibelakangku menunjuk ke langit yang penuh bintang dan meraih pundakku dan memeluknya erat. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Aku menyukainya, kau tahu? Aku paling suka melihat langit yang berbintang seperti suasana begini. Pasti mereka yang tinggal didunia yang damai tanpa perang menikmati malam ini.” Ghadir tersenyum tipis menatapku dengan wajah polos, dia lebih muda dariku dua tahun.
“Dibumi yang damai pasti mereka sedang mempersiapkan acara mauled untuk besok pagi” Hakeem tersenyum kecut. Dia sangat pintar sekali main ketapel. Air mukanya sangat dewasa akan pengalaman yang berat, padahal umurnya baru sembilan tahun.
Aku pernah melihat di televisi di kedai milik paman Khaled. Saudara-saudara yang Muslim di negara lain berdemo sambil membawa bendera Palestina. Mereka membentuk barisan yang panjang. Jilbab putih mereka berkibar ditiup angin. Oh, apakah disana sedang musim dingin yang menggigit? Seperti disini, kami hanya bisa melipat tubuh sekecil mungkin untuk mengurangi dingin angin malam yang masuk ke rumah kami yang tanpa pintu lagi. Abiku bilang, percuma kalau hanya berdemo saja tapi mereka masih menyumbangkan peluru untuk Israel untuk mencabik-cabik kami.
“Tapi tidak semuanya begitu Khaleeda” Kata Abi suatu saat ketika melihat mereka berunjuk rasa di televisi dan berpidato menentang pendudukan Israel di Palestina denga lantang, meski aku tak bisa mendengar.
“Langit diatas Gaza indah, ya” Hassan tersenyum padaku. Tangannya merapat kedada menahan dingin yang menusuk tulang.
“Pemukiman ini sebentar lagi akan diserang Israel.” Cetus Ghadir tiba-tiba ditengah keasyikan kami memandang langit.
Dadaku berdebar, batuku masih sedikit. Cepat-cepat kukumpulkan batu-batu yang tersisa dibawah puing-puing rumah Paman Hisyam. Besok adalah hari yang tidak terduga bagi kami.
“Berita basi, tuh. Kita juga calon mayat. Ya, kan Khaleeda. Simon telah mati, Bush akan tenggelam, dan Yasser juga telah pergi, semua akan mati…” Hakeem berteriak.
“Walaupun aku tak bisa melihat secara jelas, aku tau namaku tertulis disana.” Ghadir menunjuk sebuah bintang yang agak besar.
“Mungkin.” Jawabku dalam hati. “Allah menuliskannya untukmu”. Walaupun aku hanya diam, kau tau aku sedang mengukir namaku diam-diam diatas sebuah bintang yang bercahaya sangat redup. Tak seorangpun yang akan peduli akan bintang redup itu. Terlihat sekilas, namun akan cepat terlupakan. Tapi tidak bagiku. Bintang itu akan selalu kuikuti kemanapun ia berpendar, dan takkan ada yang tau dia adalah milikku. Biarkanlah aku memiliki satu bintang redup saja, jika tak ada tempat bagiku disini.
Kutarik tangan Hassan dan Ghadir mengajaknya pulang. Kantongku terasa berat, sudah cukup buat persiapan besok. Aku ingin tahun kali ini lebih berkesan.
Perutku rasanya kembung karena terlalu banyak makan angin tanpa terisi roti sekeratpun sejak tadi pagi. Ah, pasti Abi juga kelaparan, bantuan makanan dari para relawan belum sampai, karena katanya jalur dari Lebanon dihambat oleh Israel.
Lepas tahun baru ini umurku sudah genap dua belas tahun. Aku ingin menjadi seorang gadis yang pemberani seperti al Khansa. Aku ingin membebaskan negeri para anbiya ini dari cengkeraman Zionis, menikamti hari-hari tahun baru bersama Hassan, Hakeem dan Ghadir, sahabat kecilku. Menata mimpi indah bersama Abi, menyuapi Abi semangkuk bubur gandum dan remah-remah roti. Walaupun hanya sepotong roti dan semangkuk bubur tanpa rasa aku merasa bahagia bersama Abi.
Aku ingin kedamaian malam ini, tanpa deruman buldoser maupun desingan mesiu. Meski aku tak bisa mendengar merdunya suara senapan lagi, tapi aku takkan berharap dada-dada yang terbaring disebelahku berdegup lebih kencang dari biasanya.
Aku masih tak berharap untuk bisa mendengar, karena yang mendengarpun lebih tuli dariku, dan aku tak berminat untuk bicara, daripada orang yang bisa bicara tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Aku gadis bisu tuli. Tapi tak setuli dunia yang hanya merupakan seonggok daging tanpa indera. Tak bertelinga tak bermata. Buta dan tuli, diliputi katarak menjelang buta, tuli sebelum mati. Aku bukan gadis pengecut yang menutup mata ketika kezaliman meradang didepan mata. Aku tak buta hati dan rasa. Aku masih bisa merasakan peluru menembus dan merobek dada Ummi. Mencabik-cabik setiap inci tubuhnya. Yang sedang hamil dan diperkosa didepan mataku, didepan Abi dan Hassan.
Aku masih punya mata hati. Dimana dunia Arab dan Negeri Muslim berebut tak menentu membicarakan negeri kami. Negeri yang terkoyak yang takkan pernah memadamkan semangat pemuda-pemuda Hamas. Negeri yang beranjak dari sidang ke sidang, tapi tak pernah sepi dari desing peluru.
Duhai kepapaan…aku gadis bisu dan tuli, tapi aku tak buta hati. Adakah pernah kau merasa tubuhmu hancur tak berbentuk ditindas tank-tank tak bermata? Ataukah kau merasa tubuhmu tercabik, bercerai berai terkena serpihan bom? Dimanakah mata hatimu wahai dunia ketika kami menggigil kedinginan, meringkuk menahan dingin yang menggigit dan lapar yang melilit?
Duhai… masihkah kau punya mata hati?

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti