Friday, October 1, 2010

Perempuan Dalam Catatan (1)

CATATAN I            
Kita Cerai Saja

Seandainya memang bintang jatuh dapat mengabulkan permintaanku, hanya satu yang kupinta seumur penyesalan hidupku: aku tak ingin “pernah” menikahi pria itu. Selama lebih dari dua tahun berpacaran dengannya aku sudah tahu dia memang lelaki kasar jika sedang emosi, tapi cinta membutakan kedua mataku. Meski ia masih pengangguran aku nekad menikah dengan modal CINTA. Aku yakin ia bisa memenuhi kebutuhan keluarga karena ia pria yang “multi talent”. Ia bisa menjadi tukang bangunan dan mendisain rumah, bertani dan berdagang, tapi ia bukan tipe lelaki yang ulet. Dia sangat pesimis jika pernah gagal mengerjakan sesuatu, dan akan meninggalkan pekerjaan itu meskipun ia rugi total tanpa berniat mencari jalan keluar lain. Akibatnya, aku harus bekerja untuk menyeimbangkan biduk rumah tangga kami.
Tapi bukan itu penyebab pertengkaran sengit kami yang terjadi beberapa tahun silam. Aku tak bisa melupakan awal malapetaka itu, ketika biduk kami oleng akibat hantaman biduk lain. Biduk kami oleng bukan lantaran badai yang berhembus dan bukan pula karena kerasnya deburan ombak. Tapi karena ada orang ketiga yang tiba-tiba hadir diantara kami.
Wanita itu adalah seekor kupu-kupu nan cantik dan menawan. Terbang diantara bunga-bunga dalam taman kami. Bukan karena ia terbang rendah yang membuat aku merasa terbakar, tapi karena tangan suamiku yang ingin menggapainya.
Aku hancur ketika mendengar pengakuan suamiku. Tak mampu lagi lututku menahan badanku. Aku oleng, menyadari betapa gampangnya suamiku berpaling. Dan aku hampir tenggelam saat ia menguraikan alasan kenapa ia berselingkuh.
“Karena kamu selalu menolakku.  Punya istri tapi aku merasa tak memilikinya” itu jawaban yang terlontar dari bibirnya. Selama bertahun-tahun aku menikah dengannya hingga kami dikaruniai putra putri yang lucu-lucu, baru sekarang terlontar kata-kata yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku. Aku bekerja seharian penuh demi menutupi kekurangan ekonomi keluarga karena pekerjaannya yang tidak menentu. Aku harus berangkat pagi-pagi dan pulang setelah maghrib dengan mandi keringat, kemudian mengurus rumah dan anak-anak. Aku hanya tidur maksimal hanya 5 jam sehari. Salahkah jika aku pernah menolaknya jika ia minta dilayani?
Ya, aku tahu aku salah. Bahkan ketika menolaknya aku seakan mendengar para malaikat melaknatku sampai pagi. Tapi perempuan mana yang sanggup melayani syahwat suaminya ketika lututnya tiba-tiba kram akibat bekerja terlalu lama berdiri? Perempuan mana yang sanggup ketika tulangnya serasa remuk redam? Aku tak tahu apa yang ada dibenak suamiku waktu itu. Aku tak sanggup membayangkan ketika aku berjibaku bekerja sementara ia bermesraan dengan wanita lain!
Sejak itu, pertengkaran demi pertengkaran tak bisa kami elakkan lagi. Aku selalu limbung jika berdiri. Lukaku tak bisa lagi ditambal meski perempuan itu sudah pergi. Hatiku luka dan punggungku pun luka. Ia menggigit punggung ku ketika kami bertengkar hebat karena perempuan itu. Ia pernah menjentikkan tangannya ke kepalaku saat aku berteriak dan kalap. Dan ia berkali-kali mengucapkan kata cerai, “kita cerai saja” adalah senjatanya untuk membungkamku.
Dan demi Tuhan, aku tak tahu apakah aku berdosa jika tidak lagi melayaninya selama hampir dua tahun ini ataukah aku berdosa jika tetap melayaninya. Kata-kata “kita cerai saja” membuatku gamang dalam mengarungi sisa puing-puing biduk ini. Aku pernah melayaninya beberapa kali setelah ia melontarkan kata-kata menyakitkan itu, tapi setiap kali melayaninya aku merasa telah berzina. Dia pernah mengajakku untuk menikah lagi, tapi hatiku terlalu keras untuk mengiyakan.
Sekarang, setiap malam cerah berbintang, aku selalu berharap ada bintang jatuh diatas taman ini, dan mengucapkan satu permintaan sekali dalam seumur hidupku.  Aku tak ingin pernah menikah dengan lelaki yang selalu terbaring dikursi ruang tamu itu, setiap malam……
Duhai lelaki, apa yang sedang engkau pikirkan……
(seperti yang diceritakan olek Mbak Rin)
Saya tak tahu harus bicara apa, karena saya sendiri belum menikah dan tidak tahu apa yang dia rasakan. Tapi yang jelas, sulit memang untuk menyatukan dua pribadi, apalagi tak ada satupun diantara mereka yang mau mengalah terhadap terhadap egonya masing-masing. Bukankah menikah berarti kita sudah siap menerima pasangan kita apa adanya?

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti