Sunday, September 19, 2010

Bila Ikhwan Jatuh Cinta (1)

BILA IKHWAN JATUH CINTA
Saya baru kali ini berbincang dengan seorang ikhwan tentang masalah hati secara blak-blak-an. Saya punya beberapa teman ikhwan online dan mereka biasa curhat tentang masalah hati pada saya tetapi tidak dengan teman ikhwan saya yang satu ini. Dia adalah teman “nyata” saya. Seorang ikhwan yang baru beberapa bulan saya kenal itu telah jatuh cinta pada teman wanita saya – anggaplah ia bernama Habibi dan si wanita bernama Habiba.
Awalnya Habibi bercerita bahwa ia sangat berkeinginan untuk segera menikah dan minta dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Saya belum “ngeh” waktu itu, saya anggap ia hanya berkelakar. Saya memperlihatkan beberapa photo teman-teman saya padanya, mana tau ada yang berkenan dihatinya. Tapi ia hanya melirik sekilas pada photo-photo yang saya pajang dilayar monitor, seperti tak menarik. Kian hari tingkahnya semakin aneh dan terlihat kikuk. Saat ia berjalan matanya selalu tertunduk, saat bekerjapun ia terlihat tidak focus dan matanya menerawang entah kemana. Rupanya Habibi sedang “merasa” suka dengan seorang teman baik saya. Saya merasa kasihan padanya, seperti itukah ikhwan yang sedang jatuh cinta? Seperti ayam yang
sedang mengejar cacing tapi cacingnya malah nyungsep kedalam tanah.
Mengetahui bahwa Habiba sudah punya calon (meskipun hubungan tanpa statusnya dengan seorang pria belum jelas ke-shahihannya) hati Habibipun terlihat hancur. Saya mengetahui perkembangannya lewat cerita Habibi yang setengah-setengah. Ia tidak semangat lagi bekerja, lebih banyak diam sambil melamun dan tidak terdengar lagi canda tawanya yang biasa renyah.
“Saya terlambat datang, Buk MJ” Kata Habibi waktu itu. Ho..ho..ho saya merasa sangat tua dipanggil Ibu padahal umur kami hanya beda satu tahun. Tapi itu adalah “panggilan kehormatan” yang kami sepakati sebelumnya tanpa perjanjian.
“Saya boleh minta waktunya sebentar, Ukhty? Ada yang ingin saya bagi. Sepertinya saya butuh diskusi.” Habibi meminta saya sambil tertunduk. Saya mengiyakan, inilah puncak dari jeritan hatinya selama ini. Saya sudah berkali-kali menghadapi case seperti ini, tapi untuk kalangan ikhwan, baru sekarang. Chemistry-nya agak beda, tidak membabi buta dan terlihat santun tapi pasti.
“Saya tahu dia sudah ada calon, tapi saya belum menyerah sebelum ia benar-benar menikah. Apakah saya salah, Ukhty?” Tanyanya. Dan kemudian ia menceritakan suasana hatinya, bagaimana ia menjalani hari-hari tersulit saat mereka berpapasan, saat mereka harus berkomunikasi, saat mereka tanpa sengaja saling bertatap. Hatinya serasa melebur dan diremas-remas.
“Apa yang Pak Habibi sukai dari dia?” saya bertanya mencari kejujuran dibola matanya. Ia tertunduk. Oh, kebiasaan jelek saya selalu menatap bola mata lawan bicara dan saya lupa bahwa ia adalah “sejenis ikhwan”.
“Tidak tahu….” Ia berhenti sebentar. “Kalau bicara sama dia terasa nyambung, dan saya suka cara dia berpakaian, dia lembut dan baik” jawabnya. Seperti kata biro jodoh disebuah reality show, perasaan seperti itu namanya “chemistry-nya dapet” tuh.
 “Apa Pak Habibi sudah shalat istikarah?”
“Belum, tapi saya tidak punya pilihan yang harus saya pilih. Pilhan saya Cuma satu, hanya dia, Ukhty”
“Istikarah bukan hanya memilih diantara dua, Pak Habibi, tapi juga meminta kepada Allah diberikan yang terbaik pada satu pilihan itu”
“Saya selalu berdoa pada Allah, ‘Ya Allah, jika dia memang jodoh saya maka dekatkanlah. Jika tidak maka jauhkanlah, dan berikanlah yang terbaik untuk saya menurut pandangan Engkau’ Saya tidak pernah meminta kepada Allah untuk membukakan hatinya untuk saya. Saya ingin dia ikhlas menerima saya” cerita Habibi.
Sayapun berjanji akan menjembatani komunikasi mereka. Karena Habibi bilang ia tidak mau pacaran dan berkhalwat dengan Habiba. Setiap hari saya selalu memantau perkembangan “cinta” Habibi. Ia begitu mengharapkan Habiba untuk menjadi istrinya, untuk itu ia mendesak Habiba menjawab tawarannya. Ia bercerita bagaimana merasa bersalahnya ia jika menerima ataupun menelpon Habiba. Rasa bersalah karena merasa “terlalu dekat”, rasa bersalah karena anggapan orang-orang disekitarnya bahwa mereka sedang berpacaran.
“Saya tidak kuat menanggung rasa, Ukhty. Jika ia menolak saya, tidak apa-apa. Saya akan menganggap dia teman biasa dan bersikap seperti biasa. Tapi jawabannya yang belum pasti ini membuat saya kebat-kebit. Saya tidak tahu bagaimana harus mencurahkan perasaan saya. Yang saya butuhkan saat ini adalah jawaban ya atau tidak dari dia. Soal urusannya dengan si Fulan (pacarnya), saya bersedia menunggu” Habibi begitu berterus terang dengan saya, sangat terang hingga saya bisa melihat telaga dimatanya yang hampir meluap. Ia menahan tangis. Oh, Tuhan seberat apakah luka cinta dia?
Sayapun menceritakan semuanya pada Habiba. Gayungpun bersambut, Habibapun ada hati untuk Habibi. Tapi ia terikat hubungan tanpa status dengan pria lain. Ia merasa kasihan pada Habibi dan ingin menjelaskan permasalahannya pada Habibi, jika Habibi bersedia menunggu keputusan akhirnya. Hampir tiap hari Habiba bercerita pada saya mengenai Habibi, kelegaannya karena telah menceritakan semua masalahnya. Rona bahagia diwajah Habiba mengindikasikan bahwa iapun terjerat benang-benang merah muda bersama Habibi.
Tertunduk, saya mengulang doa yang pernah diucapkan Habibi,
“Ya Allah, jika mereka berjodoh maka dekatkanlah. Jika tidak, maka jauhkanlah mereka dari zina hati. Hamba berlindung kepada-Mu…………………”
(Saya hanya bisa berlindung kepada Allah dari kemudharatan)




No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti