Wednesday, January 19, 2011

Sapi Nyiak Dirah

Arti Sebuah Cita -Cita

Bus yang kutumpangi terseok saat menghindari lubang besar yang menghadang jalan raya. Air minumku tumpah dan membasahi lengan baju penumpang disebelahku. Buru-buru aku minta maaf dan menawarkan sapu tangan biru muda yang baru kubeli diterminal bus. Setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, tak banyak yang berubah. Jalanan berlobang masih seperti dulu, bebukitan yang mengelilingi pesisir pantai masih hijau dan berkabut. Aku menyeka keringat dengan ujung lengan baju. Hari semakin panas bercampur dengan bau keringat menambah dramatis suasana.
Atas permintaan Inyiak Dirah yang mengiba menyuruhku pulang, akhirnya aku cuti panjang dari pekerjaanku yang menumpuk saat akhir-akhir tahun seperti ini. Bekerja sebagai buruh di pulau Batam selama lebih dari lima tahun belum bisa menaikkan status ekonomiku sebagai pemuda yang melarat, merana dan hidup membujang diakhir tigapuluhan. Nasib sepertinya belum memihak padaku.
Inyiak Dirah adalah tetangga, nenek angkat dan sekaligus dukun beranak yang membantu setiap persalinan ibuku. Termasuk aku Si Bujang Bungsu. Tapi Nyiak Dirah lebih dari sekedar tetangga ataupun dukun beranak bagiku. Ia adalah nenek sekaligus ibu yang mengasuhku sejak tali pusarku dipotong dengan kulit bambu. Ibuku adalah seorang wanita karier, yang meniti kariernya dari kuli pengelupas kulit bawang sampai menjadi pedagang sayur tetap dipasar kaki lima. Tiga kali sepekan ibuku berjualan sayur mayur di pasar inpres. Pagi-pagi sebelum subuh, ibu akan mengantarku ke rumah Nyiak Dirah yang bersebelahan dengan rumah kami untuk dititipkan dan mengambilku kembali pulang setelah maghrib berkumandang. Maka aku berlari terseok-seok mengejar ibuku yang membentangkan tangan menyambutku. Ia akan menciumku bertubi-tubi dan menggelitik perutku dan bertanya, “Apakah Bujang Ibu tadi nakal?” dan aku berusaha merebut kembang gula yang diacungkan ibu diatas kepalaku.
Dan aku selalu melihat senyum Nyiak Dirah saat ibu melancarkan ciumannya disekujur tubuhku, ia selalu keberatan jika ibu membawaku pulang. Ia akan merasa kesepian kembali, setelah kelima anak-anaknya pergi merantau ke Jakarta, Nyiak Dirah hanya tinggal berdua dengan Datuak.
“Ayolah, Bujangku, pulanglah barang beberapa hari. Inyiak rindu nak bertemu dengan kau Bujang Bungsu” suara sengau Nyiak Dirah tak kuasa ku tolak. Berbekal pinjaman dari koperasi perusahaan, aku bertolak ke Padang dua hari sebelum lebaran Idul Adha.
Seumur hidup, mungkin inilah moment yang ditunggu-tunggu Nyiak Dirah, ikut berkurban dilebaran haji. Dari dulu, sejak aku duduk dibangku SD, Nyiak Dirah selalu mengatakan kalau ia ingin sekali ikut berkurban. Maka mulailah ia menabung sisa-sisa gajinya sebagai dukun beranak dan kuli penceruk pasir di sungai yang ada dibelakang rumah kami. Terkadang jika musim hujan tiba, Nyiak Dirah merangkap profesi sebagai penjual sayur pakis dipasar inpres. Setelah berpanas-panasan menggali pasir disungai dari pagi sampai petang, sorenya Nyiak Dirah mencari sayur pakis yang tumbuh liar di pulau yang ada ditengah sungai. Berbekal karung pupuk bekas, Nyiak Dirah harus mengisi penuh karungnya sebelum maghrib. Malamnya kami anak-anak kecil yang  lahir dibidani oleh Nyiak Dirah membantunya mengikat pakis dengan tali dari pelepah pisang.
Pitih Inyiak sudah cukup untuk beli seekor sapi tahun ini, Jang. Jadi, pulanglah melihat sapi kurban Inyiak.” Pinta Inyiak ditelepon menyuruhku pulang lebaran haji tahun ini. Lebaran Iedul Fitri kemarin aku terpaksa mengurungkan niat melihat kampung halaman karena kekurangan dana, tapi demi memenuhi rasa rindu Inyiak Dirah, aku mengajukan pinjaman dana dari koperasi perusahaan tempatku bekerja.
Aku kembali terhenyak saat bus kembali menginjak lobang-lobang besar jalanan aspal. Kali ini lamunanku yang tumpah ruah. Serpihan kenangan masa silam berantakan seperti puzzle yang belum tersusun. Kulihat sore sudah menggelayut diujung pantai sepanjang jalan pesisir, menyiratkan warna jingga menyala. Pemandangan sepanjang perjalanan memukau semua penumpang bus, mereka menolehkan kepala serentak saat bus melewati deretan pohon kelapa yang melambai dalam remang-remang senja.
Hatiku terasa ngilu, membayangkan wajah keriput Inyiak Dirah yang sumringah saat kukirimkan telepon genggam murahan. Waktu itu di desaku lagi ramai-ramainya pemakaian telepon genggam. Untuk kali pertamanya desaku yang masih hijau disentuh teknologi yang menurut orang tua kami sangat ajaib itu. Inyiak akan tergopoh-gopoh ke rumahku saat handphone yang sebesar pisang raja itu menjerit dan meminta Sara, keponakanku untuk menjawab telepon pertama.
Yang ku tahu, Inyiak Dirah sudah lebih dari lima belas tahun menabung untuk membeli sapi kurban. Sejak Datuak Mara, suaminya masih hidup, Nyiak Dirah sudah mengisi tabung bambu setinggi lutut orang dewasa itu setiap tiga kali sepekan, setiap habis menjual onggokan pasirnya pada tauke-tauke, setiap musim hujan saat tanaman pakis mulai bertunas, saat musim-musim melahirkan, tabung bambu itu menggerincing saat koin-koin menghujam dinding-dindingnya.
Bus melaju pelan saat memasuki desa kelahiranku. Sungai yang membelah jalanan penghubung satu desa ke desa lainnya berkilauan diterpa cahaya rembulan. Tepian sungai yang dulu tandus itu kini sudah ditanami berbagai tanaman palawija. Sungai Air Haji adalah sumber kehidupan bagi setiap penghuni kampung. Tempat kaum wanita berbagi cerita setiap pagi dan sore mencuci daki-daki yang melekat pada pakaian mereka. Tempat bermain anak-anak, tempat buang hajat sekaligus tempat memancing yang sempurna. Sungai itu juga sebagai mata pencarian banyak orang. Mereka menggantungkan periuk belanga mereka pada liukan sodok penceruk pasir dan kerikil.
Bus berhenti tepat didepan rumah tua itu. Ibuku berlari-lari kecil menyongsong kejalanan. Ia memeluk dan menciumku bertubi-tubi seperti yang ia lakukan setelah habis bepergian dan tidak bertemu denganku selama berjam-jam saat aku masih kecil. Aku memeluk tubuh ibuku yang kian ringkih, mencium kedua tangannya. Ayahku menepuk-nepuk pungungku halus. Para tetangga sudah berkerumun didepan rumah menyambut kedatanganku. Kulihat Nyiak Dirah terpaku didepan pintu rumahnya bertelekan tongkat yang sama tuanya dengan dirinya.
“Oh, Bujang Bungsuku, akhirnya kau pulang juga. Lihatlah Jang, itu sapi Inyiak. Gemuk dan berisi” Inyiak Dirah menunjuk kehalaman depan rumah. Disana tertambat seekor sapi bertubuh tambun yang diikat ke pohon jambu air. Rasanya air mataku menyembur keluar tak tertahan menyaksikan cita-cita Inyiak Dirah yang tak lekang waktu itu akhirnya tercapai juga.
Inyiak adalah seorang pejuang cita-cita sejati. Meski gagal menabung berkali-kali untuk membeli sapi kurban, Inyiak tak pernah menyerah. Sekali waktu, pernah tabung bambu itu hampir penuh dengan uang recehan dan uang kertas lima ratusan, tapi apa dinyana, Pak Etek  Bahrun, anak bungsu Inyiak berkirim surat dari Jakarta bahwa ia butuh uang untuk membayar uang kuliah semester terakhirnya. Atau anak tertua Inyiak, Pak Uwo butuh uang untuk biaya operasi istrinya yang akan melahirkan.
Sebagai orang tua, tentu Inyiak tidak tega menolak permintaan anak-anaknya yang jarang sekali meminta bantuan keuangan padanya. Mereka sudah terbiasa mandiri sejak awal berkat didikan Inyiak dan Datuak Mara. Belum lagi tabung bambu itu terisi setengah bagiannya, Datuak Mara sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit di kota. Berbulan-bulan Inyiak menceduk pasir sendirian ditepian sungai tanpa Datuak Mara lagi. Dan bertahun-tahun berikutnya sampai aku sudah duduk dikelas dua SMP, Inyiak tidak lagi mengisi tabung bambunya. Tangannya tidak mampu lagi mengayun penceruk pasir, matanya tak awas lagi mencari sayuran pakis ditengah pulau, maka rumput liarpun dipetiknya karena dikira sayur pakis. Orang-orangpun sudah jarang meminta jasanya sebagai dukun beranak atau tukang pijit karena jari-jarinya sudah lemah.
“Kapan kau kawin, Bujang? Biar Inyiak bisa lihat kamu diarak keliling kampung dengan pakaian adat. Berapa umurmu sekarang? Dua lima? Tiga puluh?” Inyiak membelai kepalaku. Mata tuanya sudah kelabu, rambutnyapun sudah memutih semua. Aku menggenggam tangan inyiak yang tak berdaging, hanya kulit tipis yang membalut tulang-tulangnya.
“Hanif masih dua sembilan, Nyiak.” Aku tergagap. Masih dua Sembilan? Kupikir aku sudah setua tabung bambu yang berdiri dibalik pintu kamar tua Inyiak itu. Ketika bambu itu dipotong dan dijadikan celengan oleh Datuak Mara, aku sama sekali belum lahir. Warna tabung bambu itu sudah pias dan pucat, sepias hidupku yang belum juga stabil secara ekonomi, labil secara pribadi dan masih terseok mencari jati diri.
Aku baru saja pulang dari sungai sehabis mandi pagi itu, saat didepan rumah tua Inyiak sudah berkumpul pula para tetangga yang berwajah murung, menatap iba padaku. Tiba-tiba kepalaku terasa berdenyut cepat, ulu hatiku terasa dihantam benda keras. Aku berlari keruang tamu dan menyaksikan tubuh ringkih itu terbaring tenang diatas dipan reyot. Aku tak kuasa menahan haru biru yang tiba-tiba menyeruak dari ruang hatiku, menyaksikan Ibuku menelungkupkan wajahnya ke atas dipan. Aku berlari keluar rumah sekencang-kencangnya, terus berlari kearah tepian sungai. Aku mengadu pada pasir-pasir dan kerikil. Kepada tunas-tunas pakis yang tumbuh liar ditepian, kepada aur yang melambai  diseberang.
Pasir-pasir ini, kerikil-kerikil dan tunas-tunas sayur pakis itu adalah saksi bisu kegigihan seorang wanita tua yang menyandang cita-citanya. Cita-cita yang lebih besar dari cita-cita kami, anak-anak yang lahir dibidani Inyiak yang berceloteh ingin menjadi dokter, insinyur, ahli bahasa, ataupun pilot. Cita-cita Inyiak jauh lebih besar dari cita-cita masa kecilku yang kandas, menjadi seorang ahli gizi.
“Kenapa tidak jadi guru saja, Bujang? Kenapa harus menjadi ahli gizi?” Tanya Inyiak waktu itu.
“Hanif mau tahu, kenapa Uwak Udin selalu mencret kalau makan gulai pakis, Nyiak.” Jawabku. Dan Inyiak akan terpingkal-pingkal mendengar jawabanku.
****

Aku mengenakan pakaian terbaik yang pernah aku beli. Baju koko berwarna hijau muda bersulam benang-benang emas sangat pas dengan celana panjang hitamku. Selepas shalat Ied, kami bergegas pulang untuk menyaksikan hasil akhir cita-cita Inyiak, seekor sapi jantan besar berwarna coklat tua tertambat dibawah alun-alun lapangan bersama sapi-sapi lainnya.
Ibu-ibu sudah menyiapkan bumbu gulai kalio selepas shalat Ied, bumbu khas masakan Minang. Asap mengepul diatas dapur, anak-anak berlarian gembira didepan lapangan, menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Aku memeluk tabung bambu itu, tak kuasa menahan air mata. Tabung itu pernah dikorbankan untukku, saat panen padi Ayah gagal total, dan kami tak punya persediaan keuangan lagi untuk sekedar membayar SPP, Inyiak kembali mencongkel moncong bambu warisan Datuak itu, mengeluarkan isi perutnya dan menyerahkan berpuluh koin hasil keringat Inyiak untuk membayar uang SPP ku, membeli seragam sekolah yang baru, atau rengekanku yang ingin dibelikan sepeda BMX, yang tak pernah terkabul oleh Ayahku menyebabkan aku terpuruk sakit, dan Inyiak tak pernah tega membiarkan aku menangis bermalam-malam karena tak dibelikan sepeda.
Daging kurban itu manis, tidak seperti daging yang kita beli dipasar, kata Ibuku membujukku agar mau makan daging setiap kali lebaran haji. Namun aku bergeming karena aku tidak suka makan daging dari kecil. Kali ini, makanku lahap dengan kalio daging hasil cita-cita Inyiak Dirah. Terasa manis diujung lidah.

Inyiak                       Nenek
Bujang                     Panggilan untuk anak laki-laki Minang
Sodok                       Seruk, menyeruk
Datuak                     Datuk, orang yang dituakan, pemuka kampung
Uwak                        Paman
Pak Etek                  Paman yang paling kecil
Pak Uwo                  Paman yang paling tua
Kalio                        Masakan khas Minang dihari-hari besar

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti