Tuesday, March 22, 2011

Sebuah Empati

                        Saya Sedang Belajar 
Dulu saya sulit membedakan antara empati dan simpati secara teknis. Yang saya tahu bahwa simpati adalah ikut memahami perasaan orang lain sedangkan empati bermakna lebih dalam, mengerti dan merasakan perasaan orang lain. Yang saya bingungkan adalah seperti apakah aplikasinya? Apakah berdoa, memberi bantuan dan semangat kepada saudara kita yang tertimpa musibah tsunami, korban perang, dan bencana alam bisa disebut sebagai simpati atau empati?.
Suatu hari, saat anda jalan-jalan sore ke sebuah mall, anda melihat seorang Bapak menjual pisang manis diatas trotoar pedagang kaki lima. Tanpa sandal, tanpa lapak dagangan tempat menaruh barang dagangan, sambil menggendong seorang bocah kecil dengan sebotol air gula. Dan anda merasa iba melihat mereka berdua, kemudian anda berlalu menaiki tangga-tangga mall.
Seorang pedagang koran mengetuk-ngetuk kaca mobil anda saat berhenti di lampu merah, menawarkan koran-koran lusuh yang hampir kadaluarsa. Namun bajunya rapi dan bersih. Ia tidak seperti gelandangan tapi ia adalah seorang pekerja keras. Andapun mengaguminya. Namun karena anda sudah menonton berita pagi sebelum berangkat kerja, anda merasa tidak membutuhkan koran pagi sama sekali disore yang cerah dan lampu hijaupun menyala. 100 meter dari rumah anda, anda melihat dua orang Ibu-ibu menyandang karung dekil sambil mengais-ngais bak sampah. Beraneka bentuk, warna dan bau menyeruak saat anda memelankan laju mobil karena dua orang tadi sedang membungkuk kedalam bak sampah, tubuh mereka menyita seperempat lebar jalan,  perjalanan andapun sedikit terganggu. Ah, kasihan Ibu-ibu itu, gumam anda sambil menaikkan kaca mobil untuk menghindari bau tak sedap.
Betapa banyak adegan pilu yang sering kita saksikan setiap hari dalam fragmen kehidupan kita. Berapa banyak kita bersimpati terhadap perasaan dan keadaan yang menimpa orang lain. Seperti yang dikatakan oleh salah satu pejabat di ibu kota ketika melarang pengguna jalan memberi uang pada pengemis dan gelandangan yang berseliweran dan mengganggu ketertiban jalan raya, dan pekerjaan meminta-minta itu bukan mental yang bagus bagi bangsa ini – kata sang pejabat, kumisnya naik turun.
Berita yang dimuat disalah satu televisi swasta itu menimbulkan pertanyaan dibenak saya, perlukah kita bersimpati? Jika menimbulkan mental generasi bangsa yang tidak baik?, berarti kita harus menunggu empati dari pejabat tersebut sebagai orang yang berwenang, tindakan apa yang harus kita lakukan?. Yang jelas, bukan hanya menurunkan laskar Satpol PP untuk meringkuk para gepeng dan membina mereka beberapa jam bukanlah bentuk empati yang konkrit.
Seperti sore ini, saya pulang dari kampus dengan tangan hampa. Transkrip nilai revisi yang saya urus enam bulan silam belum juga selesai dengan berbagai alasan tentunya. Saya berjalan sangat cepat seiring dengan emosi yang mengguncang. Wanita bertubuh tambun yang sebelumnya berjalan jauh didepan saya, saya lewati dengan mudah. Yang ada dalam kepala saya dalam perjalanan pulang adalah, sebuah meteor seberat 50 ton melesat jatuh ke bumi, terbakar oleh gesekan atmosfir dalam perjalanan satu arahnya meluncur ke planet biru ini. Dalam jarak 150 meter dari permukaan laut, massanya tersisa hanya 250 gr dengan ukuran sebesar telur bebek. Meteor itu menembus atap Tata Usaha FKIP dan tepat menghantam kepala licin Mr. D. Ia terkapar tak sadarkan diri, rawat inap selama enam hari. Rektor yang masih berada diluar negeri segera pulang kampung ketika mendengar berita tersebut dimuat di CNN. Ia menjenguk Mr. D dan mengunjungi ruang kerja pegawainya. Diatas meja, terletak dokumen rahasia “transkrip nilai mahasiswa-revisi” yang belum sempat ia tanda tangani. Tanpa disadari ia menandatangani dokumen tersebut dengan tangan kirinya. Nah, itu yang ada dikepala saya sedari tadi karena saking gondoknya dengan birokrasi yang berbelit-belit. Saya harus menunggu selama tujuh bulanan agar transkrip nilai terakhir saya keluar setelah wisuda tahun lalu.
Saya memperlambat langkah saat mendengar sebuah suara memanggil dari arah belakang. Oh ternyata wanita yang tadi saya jejeri langkahnya.
“Mbak, saya mau Tanya, kalo ke Punggur dari sini berapa ongkosnya, Mbak?” Tanya wanita tersebut. Saya menjawab 10 ribu.
“Kata mbak-mbak yang disana 20 ribu, Mbak. Soalnya dua kali naik angkot” katanya mulai ragu.
“Oh ya, mungkin” jawab saya. Hari sudah mulai gelap. Wanita itu terlihat sangat lelah. Ia masih sangat muda.
“Saya tidak punya uang sepeserpun, Mbak untuk pulang ke Punggur. Tadi saya habis medical di RS bersama teman-teman saya. Saya diterima kerja di PT…..Taunya saya ditinggal oleh teman-teman saya, Mbak” katanya memelas, ia mencari empati dalam bola mata saya.
Sayapun merasa simpati dan kasihan dengan keadaan yang dialaminya. Ia baru dua bulan tinggal di Batam dan baru diterima kerja disebuah perusahaan elektronik. Hanya simpati yang saya punya waktu itu, mengingat sayapun baru beberapa minggu kembali ke Batam dan masih pengangguran. Uang simpanan sudah mulai menipis dan hampir kerontang. Saya merasa tidak mampu menolong kawan baru saya tersebut. Namun pertanyaan tentang empati mengusik saya kembali. Bagaimana jika beberapa minggu lagi saya mengalami nasib yang sama? Mengingat nasib diperantauan yang tak bisa diprediksi bisa jadi saya berada diurutan nomor buncit penyumbang tingginya angka statistic pengangguran di Kepri.
Saya merogoh kantong mencari sisa-sisa ongkos sepulang menjemput kiriman Emak dari kampung yang dititipkan pada tetangga sebelah rumah. Uang kertas seribuan ada tujuh lembar, saya berikan pada wanita itu. Ia kembali memelas menatap saya. Ongkosnya tidak cukup. Dua detik berpikir, saya ajak ia ke kost. Ia menurut. Dalam perjalanan ia tiba-tiba berkata,
“Saya Kristen, Mbak. Saya dari Medan”.
Saya terkejut. Saya tidak bertanya dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Saya hanya tersenyum, membimbingnya ke ruang tamu indekos dan menyuruhnya menunggu di ruang depan. Setelah dihitung-hitung, saya hanya bisa memberi sekedar ongkos dan membeli sebotol air mineral. Tak lupa saya bingkiskan sedikit oleh-oleh dari kampung. Dalam hati saya berharap moga oleh-oleh yang saya bingkiskan tidak dicurigai sebagai “Bom Parsel” yang marak kahir-akhir ini, mengingat kejadian minggu kemarin saat saya masuk kesebuah mall dan meminta izin pada petugas ‘penitipan barang’ untuk tetap membawa ransel saya ke dalam supermarket. Didalam ransel saya berisi buku-buku tebal dan laptop. Diatas rak-rak penitipan tertulis dengan huruf capital “BARANG BERHARGA HARAP DIBAWA”. Buku dan laptop adalah barang berharga yang saya punya.
Tiba-tiba, sang Manager yang kebetulan sedang berdiri dipintu masuk, spontan berkomentar,
“Kenapa, Mbak? Isinya bom, ya?” Tanyanya dengan wajah datar. Saya berbalik dan menatapnya dengan pandangan garing, ia nyengir.
Cerita diatas bukan untuk menonjolkan empati diri secara pribadi, tapi sebagai pengalaman saya untuk mengetahui makna sebenar dari simpati dan empati secara teori dan teknis, bukan seperti pejabat kita tadi. Saya harap, pengalaman ini mendewasakan saya secara pribadi dan berguna untuk kita semua,  amien

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti