Monday, February 1, 2010

Inspiring Woman

                                          Tentang Bunda Helvy TR
Dini hari……
Aku ingin seperti Mbak Helvy TR, ingin punya hati sebening hatinya. Aku ingin punya mata seindah telaga cinta yang mengalir dalam kedua bola matanya. Meski aku belum pernah bertatap langsung, tapi aku sering menatap bola matanya dalam majalah-majalah. Dear Mbak Helvy….
Aku menangis mengukir kalimat-kalimat ini. Membaca riwayat hidup dan cita-citanya sewaktu kecil, semangat dan hawa positif dalam dirinya, aku teringat belasan tahun lalu, saat aku juga punya cita-cita yang sama, menjadi seorang penulis. Cita-cita yang sangat sederhana dan membuatmu miskin, komentar teman-temanku saat kami berkumpul menceritakan mimpi masing-masing.
Tapi aku bukan orang yang punya semangat tinggi pada cita-cita, karena dulu aku selalu berpikir hidupku ada dalam padang ilalang luas, pada jalan-jalan yang kulewati saat pulang pergi ke sekolah SMP. Aku tak pernah menyelesaikan pekerjaanku dengan sempurna. Saat aku memutuskan masuk ke Sekolah Tekhnik Menengah dan mengambil jurusan Elektro, kemudian terpaksa mengambil jurusan Bahasa Inggris di sebuah Akademi, aku tak pernah benar-benar memikirkan jalan hidupku untuk beberapa tahun yang akan datang. Sampai saat-saat menentukan ketika aku menjadi buruh di sebuah PT di Pulau Batam dan berkesempatan melanjutkan kuliah S1, baru aku mulai mengumpulkan mozaik-mozaik hidupku yang tercecer. Aku berusaha merangkai kembali, mengulang dari nol semua keinginan dan cita-citaku. Bahwa, sebenarnya cita-citaku tak pernah berubah, menjadi penulis meski untuk diriku sendiri…..
Setiap kali membuat cerita pendek, endingnya selalu berantakan padahal aku sudah membuat sinopsisnya dalam kepala. Dari sekian banyak cerpen yang kuukir hanya beberapa saja yang punya “kepala”. Selebihnya,  seperti boneka kayu tanpa kepala, kaku dan runyam.
Aku mencintai kata sejak kecil. Aku sudah menulis kumpulan cerpen dalam satu buku “bintang obor” penuh, dilengkapi dengan gambar pemeran utama sebagai prolog. Cerpen tersebut kupinjamkan pada teman-teman secara bergilir dan meminta pendapat mereka. Jawaban mereka adalah bahwa aku adalah seorang plagiat majalah remaja. Aku marah dan berhenti menulis untuk beberapa waktu. Tapi kata-kata adalah duniaku. Ibarat bintang-bintang diangkasa yang berpendar dalam gulita, kata-kata menjelma seperti bintang mengitari kepalaku.
Aku mencintai kata-kata meski aku tak bisa menyelesaikannya. Aku menyukai musik meski tak bisa memainkanya, mencintai kata-kata dalam lagu-lagunya meski tak pandai mengalunkannya. Aku mencintai gambar-gambar meski tak pandai mengukirnya, meski yang bisa kugambar hanyalah sebuah mata, sebelah. Selalu seperti itu. Kadang aku mengutuki diriku sendiri yang tak punya semangat berkarya.
Saat kelas satu SMP, guru bahasa Indonesiaku, Ibu Marhamah menyemangatiku menulis. Ia selalu memberiku pujian berlebihan meski yang kubuat adalah kata-kata singkat yang kurangkai secara spontan saat beliau meminta kami merangkai kata-kata metavora atau hiperbola. Aku semangat menulis sejak itu. Menulis dimanapun, dalam catatan hutang ibuku, dalam buku catatan penjualan ayahku dan di kertas ujian (guruku sempat mesem saat membaca jawaban soalku karena kertas dibelakangnya kuhajar dengan kata-kata, bukan dengan angka; guru matematika terlalu berpikir kaku, pikirku waktu itu). Puncak dari kata-kataku yang mengambang dikepalaku adalah saat aku berhasil menulis sebuah novel remaja waktu itu aku kelas dua STM. Novel percintaan lebay ala remaja itu masih kusimpan dirak buku sampai sekarang. Kubawa kemanapun aku berdomisili. Tapi ya seperti kebiasaan jelekku, aku terlalu kejam pada tulisan-tulisanku. Membiarkan mereka tanpa kepala!
Novel itu kutulis rapi dalam sebuah buku cantik bergambar Tom & Jerry pemberian Reny, teman sebangkuku. Ia jengkel karena buku catatannya yang manapun, bagian belakangnya sudah penuh dengan coretanku. Pagi-pagi sekali sebelum sempat aku memanaskan solder diruang praktek, ia melemparkan buku cantik itu kemejaku, sebagai perjanjian untuk tidak mencorat coret bukunya lagi.
Aku tak pernah mengirim tulisanku ke majalah atau koran manapun, karena aku tau gaya tulisanku berkualitas rendah. Aku sangat tak percaya diri. Tulisan-tulisanku hanya ku konsumsi sendiri dan kubagi dengan teman-teman terdekat dengan mengirimkan mereka email tanpa nama penulis.
Aku mengenal Mbak Helvy lewat tulisan-tulisannya di Annida. Berusaha selalu meng update berita tentangnya di internet. Setiap kali aku bercinta dengan kata-kata, aku selalu membayangkan selembar wajah Mbak Helvy dengan seutas senyuman tulus yang dibalut kerudung biru muda, potret yang kulihat di majalah Ummi. Cahaya dari bola matanya memancarkan hawa positif setiap orang yang memandangnya meski hanyalah dalam bentuk potret. Mungkin itulah yang disebut orang sebagai inner beauty? Seperti dalam tulisan Mbak Helvy saat dilamar suaminya ketika ditanya apa yang paling menarik dalam dirinya, bahwa ia memiliki karakter yang kuat, yang tak dimiliki oleh sembarang wanita. Dan aku merasakan aura cinta itu dalam matanya.
Tiba-tiba aku benar-benar merasakan jatuh cinta yang sebenarnya, belajar dari kisah hidup Mbak Helvy dan cinta Faiz yang tak bertepi.

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti