Sunday, August 1, 2010

Dibawah Pohon Carob

24 Desember
Hanan dan Amir tak pernah melupakan janjinya.
Namun kali ini ia nampaknya lupa bahwa ia pernah membuat janji. Hampir satu jam Darine menunggu dibalik pohon carob ini namun tak ada tanda-tanda kedatangannya. Jalanan lurus yang hanya satu arah dapat dipastikan tak ada satupun titik seseorang berada diatas jalanan rumput itu. Shuhail sang pengembala melambaikan tangan kearahnya. Ia pria muda yang baik dan rajin. Darine hanya tersenyum padanya,

membalas lambaian tangannya. Segerombolan domba-domba gemuk gembalaan Shuhail mengacaukan jalanan yang menciptakan kepulan debu-debu. Rasa bosan menjalar keseluruh persendiannya. Ingin dimakinya Hanan dan Amir dengan makian yang belum pernah didengarnya. Untuk pertama kalinya Hanan mengingkari janjinya dan berhasil membuat Darine kesal sampai ke ubun-ubun.
Akhirnya ia segera beranjak pulang, Ibu pasti sudah menunggu untuk makan siang. Perasaan galau, jengkel dan gerah menguapkan rasa laparnya. Aroma buah-buahan yang siap dipanen diatas bukit Umm Al Qais terbawa oleh semilir angin. Ada kesan manis disudut bibir, membayangkan apel merah segar kesukaannya dan kebun anggur yang subur milik Paman Zaher akan siap dipanen. Samakh adalah tanah yang subur, daerahnya berbukit-bukit dan terdapat banyak tanaman liar yang “diperlukan”. Pohon mint tumbuh liar disini, menciptakan aroma segar dan jernih.
Dituruninya pinggang bukit kecil itu, dibawahnya terdampar sebuah danau tenang dan berwarna biru, seperti perut rusa betina yang gemuk. Mereka suka bermain, dan berenang disana, mengejar ikan-ikan kecil dan membuat perangkap yang diletakkan didasar danau. Abangnya Khaled, sering memasang perangkap ikan didasar danau itu. Kadang ia membawa ballbout besar pulang dan menjadi santapan makan malam mereka. Khaled, Si mata hijau kucing  itu adalah penangkap ikan yang mahir, namun menjengkelkan. Ia sering menarik kepangan rambut Darine dan menakutinya dengan ceritanya yang seram bahwa ia sering melihat makhluk air yang berambut panjang dan berkuku runcing didasar danau saat ia menyelam mengambil perangkap ikannya. Cerita-ceritanya itu membuat Darine tak bisa tidur semalaman. Namun Khaled adalah orang yang selalu meminta maaf kalau telah berbuat salah, tak heran dalam sehari ia meminta maaf sampai sepuluh kali.
Sepanjang jalan ia hanya bisa menggerutu. Dilihatnya Malla sedang menyiram tanaman melatinya yang merambat dijendela kamarnya. Malla gadis yang elok dan santun. Ia mengenakan jubah hitam dan kerudung putih, persis warna melati yang sedang disiramnya.
“Siang yang cerah, Darine” sapa Malla ramah. “Dari mana saja siang-siang begini?”
“Aku ada janji bermain bersama Hanan dan Amir di pinggir bukit, tapi mereka mengingkarinya” jawabnya cemberut.
Sepulang sekolah mereka bertiga membuat janji untuk bertemu dipunggung bukit Umm Al Qais, setelah mengganti baju bermain ia berusaha tiba tepat pada waktunya, seperti biasa ia selalu berusaha menepati janji dan tak pernah terlambat menunaikan janji, begitulah yang dikatakan Ibu Guru Malika, guru bahasa Inggris di kelas lima.
Ia berharap Hanan dan Amir sedang menunggu dirumah dan meminta maaf. Tapi kenyataannya didapatinya Khaled berkacak pinggang persis didepan kamarnya.
“Kemana saja kamu? Pulang sekolah langsung pergi tanpa makan siang dulu?” Khaled berusaha menarik kepang rambut Darine menunjukkan bahwa ia sedang kesal. Darine berusaha mengelak.
“Darine, apa yang kau lakukan diluar? Tanpa makan siang kau langsung pergi bermain. Ibu tak akan mengizinkanmu lagi keluar sebelum makan siang” Suara Fatima, ibunya menyelamatkannya dari Si Mata Kucing.
“Apakah Hanan atau Amir kesini saat aku pergi, Bu?” tanyanya sambil mencelupkan roti ke sausnya.
“Tidak” jawab Fatima pendek. Nah, apa kataku? Mereka mengingkari janjinya! Omel Darine dalam hati
Selepas Ashar ia berkunjung ke rumah Hanan. Rumahnya terlihat sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat. Diketuk pintunya perlahan sambil mengucapkan salam. Hanan yang membukakan pintu.
“Aku tidak diizinkan keluar sama Ibu” Hanan memulainya sebelum Darine bertanya.
“Amir?” tanya Darine mendesak.
Hanan mengangkat bahunya.
“Aku menunggumu lebih dari satu jam” Darine berkata seolah pada dirinya sendiri.
“Aku tau, tapi ibu tidak mengizinkanku keluar. Aku harus menjaga adik-adikku karena ibuku harus menjahitkan banyak pesanan baju. Kuharap kau mengerti Darine, maafkan aku”
“Lalu kapan kita menggali harta karun kita?”
“Pokoknya kita akan menggalinya sebelum tahun baru nanti, Darine. Aku juga ingin membelikan hadiah buat Ibuku” Hanan tersenyum meyakinkan. Ada bekas kelelahan diwajahnya, mengingat ia adalah anak sulung dari 5 orang adiknya. Sepulang sekolah ia harus mengurus adik-adiknya dan membantu pekerjaan dapur sementara ibunya sibuk diruangan kerjanya, sepetak kamar kecil yang penuh sesak oleh kain kain bermacam warna yang belum dijahit.
“Baiklah, kau kasih tahu Amir” Darine menatapnya kasihan dan segera pamit pulang dan membayangkan ayam betinanya gendut dan bertambah berat. Tabungan ayam-ayaman itu dikubur dipinggang bukit Umm Al Qais bersama-sama tabungan Hanan yang berbentuk kuda dan Tabungan Amir yang hanya berbentuk kotak persegi. Tabungan yang menghilangkan selera ingin menabung jika terus dipandangi. Namun Amir selalu berkilah bahwa tabungannya memiliki ruang lebih luas ketimbang ayam-ayaman atau kuda-kudaan yang memakan banyak tempat.
Tabungan itu mereka kubur persis dibawah belukar pohon mint dibawah naungan pohon carob., ditandai dengan sedikit penanda, tiga buah batu diletakkan pada masing-masing tabungan, kemudian batu-batu tersebut ditutupi sedikit tanah namun terlihat permukaannya, sehingga memudahkan untuk carinya. Tabungan itu mereka isi sekali seminggu, sesuai jatah uang saku mereka. Selama musim dingin mereka selalu menabung uang saku mingguan. Hanan ingin membeli tas punggung yang besar jika tabungannya sudah cukup. Tas punggung itu dilihatnya disebuah etalase toko ketika kelas mereka jalan-jalan kekota. Ia sangat ingin memilikinya. Sedangkan Amir, anak laki laki yang malang, ia sangat ingin memiliki selusin kaos kaki, hal itu membuat Darine dan Hanan tertawa terpingkal-pingkal. Kaos kaki? Bukankah setiap orang punya?
“Apa kau ingin mengoleksi kaos kaki berwarna-warni, Amir?” goda Darine
“Tapi kau tentu belum pernah berebut kaos kaki dengan Khaled ketika tidur di musim dingin. Jempol kakimu akan terasa seperti kayu besok paginya jika kau tidur tanpa kaos kaki” Amir berusaha membela diri.
“Lagi pula kau tentu cukup dengan selimut dari wol, Hanan” Amir menundukkan wajahnya.
Oh, alangkah menyesalnya ia telah mengolok-olok Amir. Keluarga Amir adalah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya hanyalah seorang nelayan miskin yang mencari ikan di danau. Darine ingin membelikan kaos kaki buat Amir sebagai hadiah tahun baru nanti jika tabungannya sudah digali. Dan Darine juga ingin memberikan hadiah buat Hanan, sebuah buku cerita tentang binatang yang lucu yang pernah dilihatnya di sebuah etalase toko di Samakh. Amir yang malang, kakinya yang pincang tak pernah mematahkan semangatnya kesekolah. Ia menabungkan seluruh uang saku mingguannya, menguburnya di pinggang bukit Umm Al Qais. Ia ingin keliling dunia dengan uang tabungan segi empatnya itu. Nanti, suatu saat katanya.
Kaki kiri Amir panjang sebelah, sebab kaki kirinya itu tak berbentuk, tak seperti kaki. Kaki itu seperti patahan tulang yang dipaksa dan dibalut sekenanya oleh daging yang tak utuh. Ibunya sangat bangga sekali menceritakan kepada anak-anak lain bahwa kaki Amir hancur karena serangan tentara Israel ketika ia berumur 2 tahun. Ia telah menjadi mujahid ketika masih teramat kecil. Anak-anak yang mendengarkan cerita Ibu Amir setiap sore akan merasa iri dan mereka akan terus memandang kaki kaki mungil mereka.
Sebelumnya Darine juga pernah mengubur tabungannya dikebun buah belakang rumah saat ia masih kelas dua. Tabungan itu ia kubur tidak terlalu dalam dan ditandai dengan sebuah ranting yang tergeletak disebelahnya. Sementara disebelahnya lagi ditandai dengan Wolf yang sedang tertidur, anjing mereka. Tabungan itu persis diantara pohon terung dan tomat. Namun saat musim panen tiba Darine kehilangan jejak. Ia tak lagi menemukan ranting dan wolf tak lagi tidur disana. Darine panik luar biasa mendapati tabungannya yang hilang. Tapi Khaled tertawa terpingkal-pingkal sampai suaranya tak lagi keluar. Inilah awal perseteruan mereka.
*****
Darine harus melindungi bukunya dibalik jaket tebalnya agar tidak basah, tiba-tiba gerimis turun saat mereka baru saja pulang sekolah. Janji untuk kembali ke pinggang bukit tempat harta karun mereka dikubur sudah direncanakan dengan matang tanpa diketahui oleh seorang pun. Darine melambai kearah Amir dan Hanan yang berlari lari kecil menghindari gerimis. Namun hujan tak juga reda saat jam telah menunjukkan pukul dua, ibu pasti takkan mengijinkannya keluar.
Apa yang harus ia lakukan? Dua hari lagi tahun baru dan ini adalah kesempatan terakhir membeli hadiah buat orang-orang yang ia kasihi. Ia ingin membelikan Amir kaos kaki dan boneka anjing pudel atau buku cerita untuk Hanan. Seperti Rachael yang mengetuk pintu rumahnya pagi-pagi sekali dua hari yang lalu, memberikannya kado Natal berupa gelang dari manik-manik yang berkilau, hadiah dari Sinterklas, katanya. Ia menerimanya dengan senang hati dengan izin Ibu. Meski mereka berbeda agama-Ibu bilang perbedaannya adalah bahwa mereka sangat mencintai Rasul terakhir, nabi terakhir SAW- dan Rachael adalah tetangga yang baik.
Hujan belum juga reda ketika Hanan dan Amir menjemputnya kerumah, berlari-lari kecil melintasi gang-gang sempit yang dibatasi seng-seng bekas yang sudah berlubang disana sini. Darine menyelinap keluar menghindari Ibu dipintu dapur agar tak terlihat. Dikancingkannya jaket wol cokelat pudarnya. Dingin merambati seluruh sendinya, namun hatinya teramat bahagia. Besok adalah liburan sekolah meyambut tahun baru Islam. Kelas mereka akan berjalan-jalan ke kota esok dalam rangka menyambut liburan kali ini.
 Bertiga mereka berlari lari kecil menyusuri pinggang bukit kecil Umm AlQais, merontokkan daun-daun pohon mint dengan tangan mungil mereka sambil berlari. Amir berlari pincang menyeimbangkan langkah panjang dua temannya. Rambut ikal hitamnya bergoyang ditiup angin, wajahnya sumringah cerah.
“Aku akan membeli lima pasang kaos kaki dan sisanya akan tetap kusimpan” Amir terengah menggali tabungannya dengan ranting pohon Carob.
“Aku akan membelikan Ibu syal baru, kalian mau kubelikan sekotak permen?” Hanan menatap sahabatnya bergantian
“Tentu kalau kau memaksa” Darine tersenyum menggoda.
Hari tiba-tiba beranjak cerah, mereka buru-buru pulang sambil membersihkan tanah disekitar mereka agar tak terlihat mencurigakan. Darine menaburkan daun daun mint dan carob kering diatasnya, tentu ia tak akan meletakkan ranting lagi diatasnya atau menandainya dengan seekor burung yang sedang bertengger diatas pohon carob. Ia tersenyum geli mengingatnya.
*****
Bus yang mereka tumpangi melaju pelan. Darine mulai menguap karena perjalanan yang cukup melelahkan. Ibu Guru Malika masih sibuk membaca koran edisi kemarin. Sudah hampir satu tahun tidak berkunjung ke Gaza sejak kerusuhan tahun lalu di Gaza. Amir menguap dibalik bukunya, dan Hanan sibuk mengerjai Soraya karena ujung syalnya lepas sehingga benangya tertarik karena tersangkut pada resleting jaketnya. Darine terkikik karena ulah Hanan. Bus berhenti didepan terminal, mereka harus berjalan kaki beberapa menit untuk sampai ke taman kota. Dari halte Darine melihat orang orang berkerumun disebuah toko boneka. Ibu Guru Malika sudah bersiap memberikan instruksi selama perjalanan nanti.
“Ibu Guru, boleh aku ketoko boneka itu sebentar?” Pinta Darine.
“Tidak, jangan. Ibu hanya sebentar, dan jangan berpisah dari Ibu” Ibu Guru Malika menggenggam erat jemari Darine. Ada perasaan gelisah yang tak menentu hadir tiba tiba. Langit tiba-tiba terasa gelap diatas kepala, terasa bising seolah-olah membawa kabar yang buruk dari utara. Tiba-tiba saja degup jantungnya berpacu dengan gerak awan yang kian kencang. Darine melepaskan genggaman tangan Ibu Guru Malika. Perasaan galau itu kian memuncak saat dilihatnya Darine sibuk menunjuk-nunjuk sebuah boneka dietalase toko, dilayani oleh seorang pelayan pria muda yang terlihat santun.
Sebuah pesawat terbang agak rendah disebelah utara, meluncurkan sesuatu yang mirip ikan hiu dan tiba-tiba menciptakan suara dahsyat dibawahnya. Suara itu meledakkan apa saja yang mungkin dijangkaunya. Semua orang memekik, berteriak tak karuan meninggalkan barang-barang belanjaannya. Para ibu mencari anaknya yang terlepas dari genggaman dan laki-laki dewasa melindungi anaknya dan merangkul seerat mungkin dalam gendongannya. Malika berteriak memanggil gadis itu, namun Darine panik dan berlari tanpa arah. Ia mengejar dan meneriakkan namanya namun hilang ditelan suara gemuruh ledakan ditempat lain.
Bangunan disebelah toko buah itu hancur berantakan. Puing-puingnya terbang kemana-mana menghantam apa saja yang menghalanginya. Malika roboh bersimbah darah namun ia masih sadar dan melihat para muridnya masih terus berlari. Raungan suara pesawat itu tiba-tiba berhenti. Seseorang menarik tangan Darine dan merangkulnya kedalam pelukan. Seorang pria muda sebaya abangnya Khaled, berusaha melindunginya. Kepala laki-laki muda itu mengucurkan darah dan tangannya robek seperti sayatan pada daging apel. Mayat bergelimpangan dijalan-jalan, sebuah bom meledak tepat pada kerumun orang-orang yang sedang berlari panik. Laki-laki itu membawa Darine kesebuah bangunan yang hampir roboh, bergabung dengan yang lain. Desing pesawat masih ramai terdengar namun tak ada lagi suara ledakan.
Diantara kelegaan itu tiba-tiba asap putih menyerbu keramaian. Seperti angin puting beliung yang menelan apa saja yang dilewatinya. Asap phospor itu merontokkan daging daging muda yang dilaluinya, penyiksaan yang melebihi hujan rudal maupun bom yang barusan jatuh menimpa sebagian kota. Hanan berusaha menghindari asap putih itu sambil berlari mencari Darine yang berlarian tak tentu arah. Matanya sudah kabur oleh air mata saat menyaksikan para wanita dan anak anaknya melepuh ketika kulit mereka tersapu asap putih itu. Ia memekik sekuat-kuatnya melafazkan ayat-ayat suci, hanya itu yang bisa diingatnya dari semua jeritan panjang dan rintihan perih dihati dan kulitnya.
Seorang bocah laki laki mengulurkan tangannya memohon perlindungan dalam dekapannya. Muka dan tangan bocah itu sudah melepuh, memutih, memercikkan darah seperti semburan kembang api. Hatinya meleleh menyaksikannya, diingatnya teman kecilnya yang entah kemana. Mana Amir? Mana Darine, Jihad, Soraya dan syal rajutannya? Oh, dimana Ibu Guru Malika? Ketika tangannya hendak memeluk bocah itu mendadak sebuah letusan berupa asap menyelimutinya. Merontokkan gaun hitam yang dikenakannya. Ia melepuh, meleleh bersama ratapannya menyentuh bumi yang bergetar. Ia meraung bukan karena panas dan sakit ditubuhnya, meratap bukan karena ia tahu umurnya tinggal belasan detik lagi, tapi bocah itu dalam lelehannya beringsut memeluknya. Mereka melepuh bersama, menyatu dengan bumi yang memeluk jasad mereka yang hampir sempurna terurai…….
Darine tersungkur dan jatuh persis diatas mayat seorang wanita muda yang masih mendekap anaknya. Tubuh mereka sudah tak berbentuk lagi dengan luka menganga disekujur tubuhnya. Darine memekik berusaha berdiri dan berlari sekuat mungkin bersama kaki kaki kecil lainnya. Namun pandangannya tersapu oleh kabut putih yang mendadak meletus persis didepannya. Ia roboh, terengah mencari udara. Kulitnya perih seperti terbakar, tangan kecilnya menggapai-gapai memohon pertolongan. Ia memekik, merintih dalam alunan Surah Ar Rahman yang bisa diingatnya
“Ar Rahmaaan…”
“Alamal quraan….”
“……”
Perlahan kulitnya mulai melepuh, meleleh dan rontok seperti dedaunan pohon carob. Ia sudah hampir menyatu dengan bumi ketika yang terakhir disadarinya ia masih mendekap buku cerita dongeng yang akan dihadiahkannya untuk Hanan.
********


Khaled tak pernah membayangkan bahwa ia hanya akan menemukan beberapa helai rambut adiknya yang masih melekat pada kulitnya. Yang tak pernah disadarinya adalah air matanya sudah kering bahkan kelopak matanya terasa keras dan perih seperti kulit kayu, tapi ia masih ingin menangis. Kehilangan yang tak pernah dibayangkannya, kehilangan tawa ceria Darine, kerlipan mata coklatnya ketika marah dan ritual Darine setiap sore mendaki punggung bukit bersama dua sahabatnya. Hatinya gamang akan kehilangan seseorang yang dicintainya. Sebatang kara ia meratap, meraung dan berlari tak tentu arah dipinggang bukit. Tak dipedulikannya Paman Abbas memanggil-manggil dari bawah. Ia hanya ingin sendiri, menggelitik pinggang bukit tanpa Darine…….




              

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti