Sunday, August 15, 2010

Cinta Dalam 30 Hari

Cinta Dalam 30 Hari

Seperti embun pada pucuk-pucuk daun,
Aku luruh ke bumi
Tersungkur dalam sujud-sujud panjang.
Tenggelam dalam samudera cinta yang tak bertepi,
Dan kemudian aku hanyut,
Dalam satu arus, Mahabbatullah….

Tiga puluh hari silam, aku berada disuatu tempat yang nyaris tak kukenal, tertatih aku melangkah, meraba dalam gelap dan pekatnya hari-hari yang kulalui. Tiga puluh hari silam, aku berusaha mencapai suatu titik yang sangat bercahaya namun kabur kulihat dari tempatku berdiri.
Dan sekarang aku disini, disuatu tempat yang kulalui dengan tetatih-tatih. Dikelilingi cahaya kunang-kunang. Rasa asa yang membuncah kutumpahkan dalam sujud-sujud panjang disetiap tengah malam buta. Tuhan, kumohon untuk tetap tancapkan hidayah itu kedalam dadaku, agar aku tidak lagi oleng dan jatuh dilembah gelap tiga puluh hari lewat.
Tiga puluh hari lalu, aku masih bisa mencium serbuk-serbuk neraka itu, mengkorosi jiwa dan kesadaran diriku. Menghisap dan merontokkan paru-paruku. Tiga puluh hari lalu aku masih berada dalam hingar bingar kegelapan, diiringi musik-musik yang melenakan kesadaranku sebagai seorang manusia.
Disini, dalam cahaya kunang-kunang, aih bukan kunang-kunang kurasa. Sebuah bola cahaya menggantung diatas cakrawala, menerangi segenap penjuru yang bisa dilihat mata. Aku mengaji, seperti anak TK. Berusaha membelit-belitkan pita suaraku agar pas terdengar. Duhai...aku tak pernah diajari membaca abjad yang berwujud seperti perahu, itik bermahkota atau seperti mangkok kaca ini.
Sepertinya, kesabaran Ummi Rayyan teruji karena sulitnya membelesakkan ilmu dikepalaku.
“Dalam belajar, kita tidak harus langsung bisa membaca” Kata Ummi Rayyan dengan sabar.
Aku sangat mengagumi Ummi, kesabaran dan kebaikannya bagai embun. Kutemukan telaga cinta dalam matanya, dalam tiga puluh hari pencarianku.
“Allaahussamad….lam yalid wa lam yuulad….” Aku mengeja surat Al Ikhlas dibimbing oleh tatapan cinta Ummi Rayyan.
Seumur hidup dalam hari-hariku, baru kali ini aku benar-benar merasakan ketulusan. Dalam sebuah komunitas tarbiyah ini aku kembali belajar dari nol. Kesibukan kerja dalam memburu kepentingan duniawi membuatku lupa akan statusku didunia ini.
Kembali aku belajar tentang eksistensi Tuhan. Aku ingat, ketika orang-orang bertanya, “Siapa Tuhanmu?” aku menjawab,”Tuhanku ya Tuhan. Tuhanmu dan Tuhanku.”
Dalam mahabbatullah ini, aku mabuk dan benar-benar jatuh cinta. Mabuk yang sebenar-benarnya mabuk. Aku haus akan cinta-Nya. Cinta orang-orang disekelilingku. Cinta yang benar-benar nyata adanya. Bukan cinta pada sesuatu yang semu, gelar, jabatan, harta, kecantikan, dan popularitas yang kemudian menjadi puing-puing yang tak berarti dihadapan-Nya.
Kembali aku mengeja Asma-Nya. Melantunkan pelan dalam hati. Duhai kelemahan…..alangkah butanya aku selama ini.
Seperempat abad hari yang kulalui, halaman-halaman kenangan terbentang didepan mataku. Setiap subuhku terlewat dalam hangatnya selimut. Dhuhaku terlewat dan tenggelam dalam secangkir teh disebuah cafĂ©. Zuhur ku pun terlena dalam remah-remah nasi dalam makan siangku. Begitupun ashar dan Magrib, aku larut dalam musik-musik cinta MP3-ku. Dan akhirnya, ketika malaikat naik ke langit ketujuh, aku tenggelam kembali keperaduanku – dan aku sama sekali tak melakukan apa-apa untuk hidupku.
Dalam mimpi-mimpi buruk aku tercekat dan terbangun dini hari. Saat ketakutan melanda, aku kembali menenggelamkan diri dalam musik-musik cinta pengantar tidur. Seperempat abad kulalui hari-hari seperti itu.
Aku tak pernah memohon, meminta dan berdoa pada Tuhan. Karena hartaku bisa memenuhi semua keinginanku. Tetapi, ketika sebuah pikiran melesat mencapai titik akhir ujung sarafku, sebuah kata berformasi membentuk sebait kata yang menyeramkan, KEMATIAN.
Sayap-sayap kematian itu mengelilingiku menggodaku dengan kemilau cahaya pada kepaknya. Aku kembali luruh kebumi, bertanya pada tanah, kapan ia siap menerimaku?
“Aku siap kapan saja, tak terduga, tanpa berita!” Itulah jawabannya!
Dan tiba-tiba saja sayap itu hinggap pada Dana, sahabat karibku. Mencabut kakinya dari bumi dan membawanya terbang keangkasa gelap. Dana hanya bisa memekik, berjuang melepaskan cengkeraman maut itu ditenggorokannya, dan kemudian ia lenyap.
Aku hanya bisa berlari menghindari bayang-bayang sayap itu diatas kepalaku. Jauh aku berlari. Aku tak peduli dengan panggilan Ayahku yang memintaku untuk kembali atau tangis sedih Ibuku yang menghapus make up kelas atasnya. Aku tak peduli lagi.
Dan sekarang, aku terdampar disebuah pemukiman. Jauh dari hingar bingar kehidupanku pada tiga puluh hari sebelumnya. Aku membersihkan diri dalam telaga iman, bersiap meninggalkan masa lalu. Meninggalkan musik-musik cinta yang melenakan, membuang semua kenikmatan hidup yang dijanjikan. Melepaskan diri dari rutinitas yang menyita waktu dan pikiran. Aku meninggalkan semua cinta semu itu dan menitipkannya pada sayap-sayap kematian.
Wahai Yang Maha Membolak Balikkan Hati, hamba mohon, pada hari pertama bulan yang penuh berkah ini, ijinkan hamba mereguk segelas cinta-Mu yang tak pernah kering untuk melepaskan dahaga, setelah seperempat abad hamba terdampar dipadang tandus. Izinkan hamba menyempurnakan syahadat hamba setelah tiga puluh hari pencarian yang melelahkan, dan biarkan hamba tenggelam dalam kesyahduan tiga puluh hari kedepan.
Jika kesukaran hidup itu adalah matahari dan kesenangan hidup itu adalah hujan, maka kita membutuhkan keduanya untuk bisa melihat pelangi (MJ)

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti