Friday, August 27, 2010

SURAT CINTA UNTUK SANG KHALIK

Kepada Bintang-Bintang

Seperti pepasir dipantai, sebanyak itulah dosa-dosaku. Seperti arang yang kering dan hitam, segersang itulah hatiku. Pada daun-daun kering kuungkapkan semua keluh kesahku. Pada tetesan-tetesan embun yang luruh satu persatu, kutitipkan rasa sesalku. Aku bagaikan bangkai yang dibawa terbang elang dan dicampakkan diatas batu karang tajam. Aku hancur berkeping, terburai dalam genangan dosa-dosa yang tanpa kusadari telah beranak pinak.
Tuhan……
Pada bintang-bintang diangkasa, kutitipkan salamku untuk-Mu. Pada lembayung senja ini, kutorehkan rasa sesalku. Aku hanya segumpal daging yang hina, tak pantas menjenguk syurgaMu, tapi Tuhanku, akupun tak sanggup singgah dineraka-Mu.
Tuhan, kutorehkan kata-kata cinta dalam penyesalanku pada sayap-sayap senja, pada bayu yang mengembun dikepalaku, pada langit biru, pada birunya samudera Hindia ini. Kutuliskan penyesalan tiada tara pada daun-daun kering, bertintakan embun-embun bening, sebening hatiku tatkala kutumpahkan semua resah dihati. Hanya Engkaulah Pendengar semua keluh kesah ini.
Tuhan, dalam terjalnya kehidupan ini aku tertatih mencari jalan akhir yang bermuara pada satu arus. Kuhanyutkan diri ini dalam alunan gelombang, tergulung dalam gemulai riak-riak ombak. Kaki ini terasa tak sanggup lagi berlari, membawa hati yang compang camping. Aku menghela jasad yang hampir membusuk ini, yang sebentar lagi akan menyatu dengan bumi.
Ketika cahaya kunang-kunang menyilaukan mataku, kucoba menggapai dengan tanganku yang kotor ini. Aku bersimpuh dihadapan-Mu. Dibawah singgasana_Mu yang agung ini. Sambutlah tangan yang selalu kubawa untuk bermaksiat kepada-Mu ini. Tangan yang selalu berada dibawah, mengharap belas kasihan dari makhlukMu. Tangan yang tak pernah mengulur pada kepala anak-anak yatim, tangan yang jauh dari jangkauan dhuafa, tangan yang tak pernah tengadah mengharap kepada-Mu.
Kubawa sepasang mata ini kepada-Mu. Mata yang tak pernah mau melihat tanda-tanda kebesaran-Mu. Mata yang selalu kupergunakan untuk melihat hal-hal yang terlarang. Mata yang tak pernah menangis saat diperdengarkan siksa neraka. Mata yang tak pernah mengalirkan telaga cinta untuk kedua ibu bapakku, pada saudara-saudaraku dan pada makhluk-Mu yang lain.
Kubawa telinga ini kehadapan-Mu. Telinga yang tak pernah mau mendengar panggilan-Mu, telinga yang tak pernah peka ketika ayat-ayat-Mu diperdengarkan. Sepasang telinga yang tak berindera, yang hanya mendengar kata-kata maksiat dan nyanyian-nyanyian cinta yang melenakan.
Kuhadapkan pada-Mu wajah yang hina dina ini. Wajah yang tak pernah basah oleh wudhu. Wajah yang penuh polesan kedustaan, yang selalu dihiasi senyuman kebohongan. Kubawa sepasang kaki yang hanya tinggal tulang belulang ini, dirayapi belatung-belatung masa. Sepasang kaki yang tak pernah menginjak rumah-Mu. Sepasang kaki yang selalu kubawa ketempat maksiat.
Tuhan….
Dan biarkanlah hati ini masih melekat didadaku, agar aku bisa mengolesnya dengan sedikit waktu yang tersisa. Mengikis kerak-kerak yang mengkorosinya. Biarkan ia sejenak bersemayam dalam rongga ini, agar dapat kubersihkan walau tidak seputih kapas. Biarkanlah kembali segar dengan tetesan wudhu-wudhu terakhirku, meskipun tak semurni hati para pemburu cinta-Mu. Biarkan ia kubersihkan dulu sebelum menghadap-Mu. Beri hamba kesempatan sekali lagi, meski ini adalah pinta hamba yang kesekian.
Pada sayap-sayap rembulan, kutitipkan surat cinta ini untuk-Mu. Surat permohonan ampun sebelum sayap-sayap malaikat menjemput raga ini. Pada sayap-sayap rembulan, kutitipkan harapan agar Engkau berkenan menyiramkan air cinta dalam Rahmat-Mu untuk membersihkan raga yang terburai.
Duhai rembulan, padamu kutitip surat cinta ini. Hantarkanlah kesinggasana Sang Pencipta…………




1 comment:

Anonymous said...

Menghujam jantungku, Hil.....

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti