Sunday, September 5, 2010

Antara Jodoh dan Gelar

 Sebagai Renungan

Kisah ini berdasarkan pengalaman beberapa teman, dan seseorang sedikit keberatan (namun memberi lampu hijau) jika kisahnya kupublikasikan. Tapi mengingat hikmah yang terkandung dalam perjalanan hidup mereka dan pengalaman pribadi, kuputuskan untuk memposting tulisanku ini. Nama, tempat dan sedikit tambahan sebagai bumbu penyedap cerita. Tapi intinya, ini adalah sepenggal kisah tentang kepicikan kita dalam menakar kualitas seseorang dari embel-embel dibelakang nama.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum:30)
Lagi-lagi orang Padang, temanku mengeluh kenapa orang Minang terlalu banyak embel-embelnya dalam memilih jodoh terutama kaum prianya. Seringkali teman-temanku mengatakan “untuk bisa  menghindari berjodoh dengan orang Minang”. Saya selalu membantah, karena tidak semua orang Minang memiliki pikiran sepicik itu. Hanya saja temanku itu belum beruntung dan “kebetulan” bertemu dengan orang Minang jenis begitu. Buktinya banyak sinetron-sinetron Indonesia yang meng-ilustrasikan bagaimana seorang pria terhormat, bergelar dan mapan menginginkan atau diultimatum keluarga besarnya agar berjodoh dengan wanita sepadan. Dilihat dari budaya yang dimunculkan, gaya hidup dan “lokasi kejadian”, bukanlah budaya Minang yang ditonjolkan.
Tersinggung memang dengan sugesti  seperti itu, terkadang saya sering membantah dengan keras pendapat mereka. Meskipun ada tapi tidak semua orang Minang seperti itu.
Sebutlah namanya Mbak Wita, gadis Jawa hitam manis ini sudah berumur hampir sepertiga abad, namun belum menemukan jodoh yang cocok.  Setiap kali ada pria yang datang padanya selalu berasal dari keluarga Minang yang “aristocrat”. Menginginkan calon mantu yang mempunyai embel-embel dibelakang namanya, minimal De tiga. Meskipun Mbak Wita adalah Pegawai Negeri Sipil disebuah instansi pemerintah di Batam, namun ia tak memiliki gelar dibelakang nama megahnya. Wita Sundari Soedibyo. Beberapa kali Mbak Wita sendiri mundur dipertengahan perkenalannya dengan beberapa pria Minang dengan alasan keluarga Si Pria tersebut menginginkan mantu yang mempunyai gelar akademik.
Terakhir, dengan lapang dada, Mbak Wita harus menerima kekecewaan. Seorang pria Minang kenalannya yang ingin mengenalnya lebih jauh pelan-pelan mengundurkan diri. Sebelumnya, setelah bercerita panjang lebar via telepon setelah berbulan-bulan perkenalan mereka, si Pria Minang mengatakan bahwa keluarganya menginginkan ia berjodoh dengan wanita yang mempunyai gelar akademik minimal De tiga. Kenyataan pahitnya lagi adalah pengsayaan pria tersebut yang ternyata sudah punya pacar yang berdomisili di pulau tetangga. Trus, apa tujuannya berkenalan lebih jauh dengan Mbak Wita? Hanya untuk mencari yang terbaik sebagai perbandingan, jawab pria tersebut.
Jangankan Mbak Wita, saya saja sebagai pendengar cerita-cerita Mbak Wita langsung meradang. Namun Mbak Wita berkata diplomatis menenangkan emosiku.
“Kita kan tidak mempunyai komitmen apa-apa sebelumnya, jadi buat apa saya kecewa? Toh, selama ini kita hanya teman ngobrol, kalau tidak cocok ya carilah yang lebih baik” kata Mbak Wita pada pria tersebut.
Lain lagi dengan Uny Azula. Pernikahannya tidak direstui keluarga calon suaminya lantaran menginginkan “jual beli” dengan harga tinggi. Calon suaminya seorang yang mapan dan berasal dari keluarga berada yang menganut adat taat, yakni calon pengantin wanita harus “membeli” calon pengantin prianya dengan “patokan harga” yang sudah distandarkan oleh keluarga sang calon suami. Budaya seperti ini hanya dianut oleh sebagian kecil orang Minang. Karena tidak mampu membeli dan Uny Azula pun berasal dari keluarga Minang yang biasa-biasa saja, maka pernikahan mereka pun ditolak mentah-mentah. Semua fasilitas hidup yang diberikan keluarga saat suaminya hidup membujang ditarik kembali oleh kedua orang tuanya. Alhasil, Uny Azula benar-benar memulai kehidupan barunya dari NOL besar minus.
Saat membahas fiqh munakahat bersama murabbi dan teman-teman satu halaqahku, saya membaca sebuah buku “panduan munakahat” dan pengalaman pribadi beberapa orang yang dihimpun dalam buku tersebut. Salah seorang responden menulis, ia membuat kriteria yang salah satu sayaratnya adalah “memilih akhwat yang tidak berkaca mata”. Sayapun tersedak. Delapan orang dari akhwat yang sedang berkumpul di Masjid Raya itu, empat orangnya memakai kaca mata, termasuk murabbiku. Saya tidak tau motivasi sang ihkwan membuat kriteria seperti itu.
Saat itu sang murabbi bertanya tentang kesiapan kami untuk segera menyempurnakan setengah agama kami. Ada seorang ikhwan yang mencari calon istri minimal sudah Es satu. Sayapun memalingkan muksaya. Tiga syarat yang disabdakan Rasulullah lebih dari 1400 tahun yang lalu sebagai panduan mencari calon istri itu sepertinya sudah ditambah oleh anak muda zaman sekarang, yang keempatnya adalah mempunyai gelar akademik (selain syarat yang lain tentunya) saya berlindung daripadanya. Semua pengalaman teman-temanku yang mengalami nasib diujung nama itu membuatku merenung lama.
Saat saya masih duduk di bangku Es Em Pe, sepupu perempuan saya mengalami nasib yang sama, tidak direstui calon mertua karena tidak punya embel-embel dibelakang nama megahnya. Lain lagi dengan seorang teman ikhwan saya. Saat ini teman ikhwan saya itu mengajar disebuah pesantren salaf di kota Padang. Beliau memang tidak memiliki gelar akademik, tapi kemampuannya kupikir sama dengan guru-guru lainnya (bukankah Pak Ajip Rosidi tak pernah lulus SMA? Dan beliau pernah menjadi professor tamu di Jepang dan pulang ke tanah air dengan se-kontainer buku-buku).
Ketika saya “tawarkan” pada beliau seorang teman akhwat saya, beliau langsung menolak dengan alasan teman akhwat saya tersebut sudah ada embel-embel dibelakang namanya, sedangkan beliau tidak punya gelar dunia tersebut. Penolakan yang simple namun membuat catatan panjang dalam diary hidup saya, kapan manusia diukur dengan gelar yang tak langgeng itu? Bahkan saat bumi memeluk jasad kita, tak ada satupun gelar tertulis dibatu nisan……..

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti