Friday, April 1, 2011

Beda Fikih Satu Syariat

         Beda, Tapi Satu
Saya sering mendapat pertanyaan dari teman-teman saya, apakah saya Muhammadiyah, NU, PKS, Hizbut Tahrir atau Salafy? Apakah saya shalat tarawih 23 rakaat atau 11 rakaat? Apakah saya baca yasin setiap malam Jumat? Atau yang lebih ekstrim, apakah saya boleh bersentuhan dengan sesama perempuan? Kerap saya mendapat sindiran atau kelakar dari teman-teman saya baik yang laki-laki maupun perempuan. Misalnya salah seolah teman laki-laki saya berkomentar bahwa saya hanya akan menikah dengan pria dari ‘kalangan sendiri’ yang celananya berbahan, diatas mata kaki dan berjenggot, terus yang jalannya menunduk mencari dirham jatuh. Kemudian mereka membandingkan setiap pemahaman aplikasi keislaman saya dengan apa yang mereka ketahui – sebagai ajaran turun temurun dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.        Semua komentar yang lazim kita dengar dalam perbedaan pemahaman aplikasi keislaman sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah saw hidup. Manusia adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakan Allah. Bahkan seorang Mukmin yang taat derajatnya bisa lebih tinggi dari malaikat di sisi Allah. Manusia, dengan seribu kerumitannya tersimpan akal dan nurani yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan anugerah istimewa tersebut manusia bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan akal dan nuraninya pula manusia bisa menemukan kebenaran, hidayah, pengetahuan seluas langit dan bumi. Maka dengan seribu kerumitan yang ada dalam tengkorak kita ini adalah lazim masing-masing orang mempunyai pemikiran yang berbeda, penafsiran yang berbeda, interpretasi dan pemahaman yang berbeda.
Dalam sebuah misi dakwah, Rasulullah memberi amanat kepada para sahabat sebelum berangkat: Janganlah kalian shalat Ashar melainkan dikampung bani Quraizhah. Sayangnya, ditengah perjalanan, waktu Ashar pun telah datang sementara kampung Bani Quraizhah masih jauh. Maka pendapat para sahabat terbelah menjadi dua kelompok. Satu kelompok berpendapat bahwa mereka harus shalat pada waktunya (QS. Annisa:103). Kata-kata Rasulullah bisa dipahami sebagai sebuah motivasi agar mereka bergegas ke Kampung Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar, namun jika belum tercapai, shalat tetap harus dilaksanakan pada waktunya. Pendapat kedua, apa yang Rasulullah katakan sebelumnya adalah sebuah perintah, dan mentaati Rasulullah adalah sebuah kewajiban (QS. Annisa:59). Kedua pendapat tersebut tanpa silang sengketa apalagi sampai bersikeras mempertahankan pendapatnya. Para sahabat menghargai pendapat sahabat lainnya. Ketika berjumpa Rasulullah, para sahabatpun menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullahpun membenarkan keduanya. Sebab, kedua pendapat tersebut memiliki landasan hujjah.
Setelah 14 abad berlalu, perbedaan-perbedaan pendapat masih begulir sampai sekarang. Itulah kenapa kita membutuhkan fikih untuk memahami syariat. Menurut Ustadz Achmad Satori Ismail, kita harus bisa membedakan antara syariat dan fikih untuk bisa memilah mana hal-hal prinsipil (merupakan akar atau landasan) dan mana hal-hal yang furu’ (cabang) sehingga kita bisa memahami hal-hal yang prinsip yang harus ditegakkan dan ditegaskan dan mana hal-hal yang bisa ditolerir sebagai sebuah perbedaan yang variatif bukan konradiktif. Jika kita bisa memahami ini, tentu kita Umat Islam tidak saling berselisih dan saling bermusuhan yang menganggap kelompok kitalah yang paling benar.
Syariat adalah ajaran-ajaran Allah yang diturunkan melalui wahyu  kepada Rasulullah dan terangkum dalam AlQur’an maupun Hadits. Fikih adalah hasil ijtihad manusia yang ditujukan untuk memahami ayat atau hadits tertentu. Untuk pengkajian fikih jelas bukan sembarangan orang. Dia haruslah seorang ahli dibidang tafsir, ilmu hadits, ilmu bahasa, ilmu ushul fikih dan beragam ilmunya lainnya, dan tentu saja haruslah seorang faqih yang diketahui kredibilitasnya.
Masih dalam penjelasan Ustadz Achmad Satori,  dalam aplikasi kehidupan beragama, untuk hal-hal yang furu’ (cabang), para ulama terdahulu memiliki interpretasi dan pemahaman yang berbeda-beda sehingga memunculkan beberapa mazhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali) yang justru merupakan hal yang biasa dan indah. Para ulama terdahulu saling menghargai pendapat masing-masing. Lalu kenapa ya, umat zaman sekarang malah sampai berantem jika berbeda pendapat dengan jama’ah lain, saling menghujat sebagai pelaku bid’ah dan mengkafirkan sesama Muslim. Padahal dalam hal-hal furu’iyah atau khilafiyah yang perlu ditekankan adalah pencarian pendapat mana yang lebih afdhal bukan pendapat mana yang benar. Makanya ketika kita bertanya pada ulama tentang suatu permasalahan khilafiyah, mereka mengemukakan pendapat beberapa mazhab, dan kita bisa memilih mana yang lebih afdhal sesuai dengan pengetahuan kita.
So, saat saya ditanya kembali apakah saya PKS, Muhammadiyah, NU, Salafy, Hizbut Tharir atau Jamah Tabligh, saya hanya menjawab bahwa saya adalah Ahlussunnah Waljamaah. Muhammadiyah, NU, PKS, HT dan lainnya hanyalah organisasi keislaman yang agamanya sama-sama Islam. Keragaman organisasi keislaman justru memperkaya wawasan kita bahwa Islam itu indah dan kita bisa memilih di organisasi mana kita bisa berkolaborasi sebagai sarana dakwah. Toh, bagaimanapun, setiap organisasi tentu punya fikrah/pemikiran berbeda satu sama lainnya. Intinya, organisasi tersebut sebenarnya dibangun atas dasar syariat Islam untuk menyebarkan syariat, kitalah, para pengikutnya kemudian yang sering melencengkan dan mempolitisasi pemahaman tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Semua perbedaan tersebut tentu bisa diterima jika memiliki landasan hujjah berdasarkan Al Quran dan Hadist. Bukan berarti kebebasan berekspresi dan berpikir bisa ditafsirkan semau-maunya seperti isu pluralisme atau pemikiran kaum sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Pluralisme, jelas Achmad Satori adalah melanggar prinsip agama Islam; innaddina indallahil Islam – sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam. Sementara paham sepilis menyamakan semua agama. Sampai-sampai mereka punya fikih sendiri, yaitu fikih lintas agama.
Sebagai Muslim, baik kader dakwah maupun bukan, kita harus membekali diri dengan pengetahuan syariah, fikih maupun fikih kontemporer. Sehingga dalam mengamalkan sesuatu kita mengetahui landasan syariahnya, tidak taklid buta pada pendapat suatu kelompok. Sehingga ketika timbul pertanyaan-pertanyaan khilafiyah, kita bisa menjawab dengan bijak berdasarkan landasan yang syar’i. Munculnya beragam aliran dan pemahaman yang sesat dikalangan umat Islam dikarenakan minimnya pengetahuan umat Islam tentang pemahaman Al Quran dan Hadist. Akibatnya mereka sulit membedakan mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang sesat karena minimnya pengetahuan agama. Untuk membekali pengetahuan kita tentang paham dan ajararan sesat, agar kita tidak terjerumus kedalamnya, silahkan baca buku “Paham dan Aliran Sesat di Indonesia” oleh Hartono Ahmad Jaiz.
(Dalam menasehati diri sendiri. Sumber Utama: Majalah Ummi)

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti