Saturday, April 30, 2011

Bila Akhwat Jatuh Cinta (2)


Apa sih beda akhwat dengan muslimah? Itu pertanyaan teman-teman saya waktu itu. Menurut mereka, akhwat adalah wanita muslimah yang memakai jilbab selebar taplak meja, sedangkan muslimah adalah wanita Islam yang memakai jilbab gundul atau memang gundul sama sekali alias tak berjilbab. Begitulah hasil diskusi kami tengah malam itu disela-sela pekerjaan yang menumpuk diatas meja. Barangkali memang seperti itulah persepsi masyarakat terhadap komunitas akhwat.

Akhwat, dengan semua atributnya, jilbab lebar, baju panjang, rok longgar berpadu dengan celana kulot didalamnya, kaos kaki dan disempurnakan dengan manset untuk menutupi pergelangan tangan jika bajunya longgar, dipandang sebagai muslimah yang santun, bahasa yang tertata, berpendidikan agama dan dunianya, kalem dan lembut. Penampilan lahir bathin itulah yang membuat saya tertarik mendalami dunia akhwat, dan ternyata membawa pengaruh besar dalam kehidupan saya nantinya. Ternyata persepsi masyarakat tentang akhwat memang ragam seperti itu. Educated, cerdas, kalem, lembut dan murah senyum. Sekeras apapun karakter seseorang, ketika ia tersentuh hidayah dan memutar haluan hidupnya menjadi muslimah yang kaaffah, ia tiba-tiba bermetamorfosa menjadi pribadi yang lembut dan santun. Kecuali saya, saya sulit menghilangkan karakter saya sebagai pribadi yang sedikit ‘agak konyol’,suka tertawa lepas dan keras kepala.

Itu semua adalah pandangan masyarakat umum tentang akhwat berjilbab lebar pada tahun-tahun pertama saya mengenal dunia mereka, sekitar tahun 2000-an. Lalu sekarang? Apakah paradigma itu sudah berubah? Saya rasa tidak, meski agak sedikit bergeser maknanya. Sesuai hukum alam, kadang hidup ini ada dibawah kadang diatas, kadang ghirah dakwah sangat berkobar-kobar, kadang padam sama sekali. Kadang muncul pribadi-pribadi yang militan, kemudian berangsur menjadi moderat dan akhirnya berubah menjadi sekuler dan liberal. Itu memang hukum alam. Seperti bencana, sulit untuk menghindar, tapi paling tidak kita harus menyiapkan bekal untuk menghadapi ‘ghazwul fikri’ (perang pemikiran) seperti ini.

Jika dulu akhwat sangat dikagumi karena kesantunannya, akhwat yang berada dilingkungan tarbiyah dan mempunyai izzah yang dijaga dengan ‘gadhul bashar’ nya (menundukkan pandangan), umumnya dilingkungan kampus, berbeda yang saya temui dilingkungan kerja, akhwat maupun ikhwan lebih terbuka pergaulannya meski mereka tetap menjaga adab-adab dalam pergaulan. Namanya juga kehidupan, semakin lama hidup, semakin banyak yang kita temui. Sekarang ini banyak kita temui akhwat yang pacaran secara terang-terangan, berpegangan tangan dan bongkar pasang pakaian islami.

Dari fenomena tsb sebenarnya bisa dikategorikan antara akhwat tarbiyah dan akhwat non – tarbiyah. Jika akhwat non tarbiyah berpakaian islami tapi tidak diiringi akhlak yang islami. Biasanya akhwat seperti ini hanya ikut-ikutan berpakaian serupa, baik karena mereka merasa nyaman dengan berpakaian longgar atau karena kesan anggun yang ditampilkannya, tapi tidak memaknai ‘kewajiban menutup aurat’. Namun hal seperti ini langsung maupun tidak langsung sedikit ‘mencemarkan’ nama baik kalangan akhwat, dalam tanda kutip ‘menggeser pradigma masyarakat tentang akhwat’ selama ini. Maka tugas akhwat tarbiyahlah, yang mau tak mau merupakan daiyah untuk lingkungan sekitarnya. Berdakwah bukan hanya dimajelis, bukan saja dalam bentuk ceramah, tapi juga dalam bentuk tindakan yang diaplikasikan dalam dirinya sendiri sebagai contoh untuk orang-orang disekitarnya.

Tapi jika ini terjadi dikalangan akhwat tarbiyah? Akhwat yang sudah tahu seluk beluk hukum agama dan aktif dalam halaqah melakukan perbuatan yang tak terpuji? Seperti pengalaman saya beberapa tahun lalu. Seorang teman saya dengan emosinya berkata tanpa basa basi terlebih dahulu.

“MJ, saya tidak akan pernah percaya lagi dengan yang namanya akhwat”

Saya heran dengan perkataan tersebut, menatap nanar pada jilbab gundul Astrid, dan balik bertanya.

“Kenapa emang?” saya bertanya setenang mungkin.

Kemudian ia menceritakan teman satu kontrakannya, yang kebetulan saya mengenalnya juga. Akhwat tersebut agak pendiam dan tak banyak bicara. Tenyata akhwat tersebut pacaran dengan teman sekerjanya. Jika pacaran dan jalan bareng saja mungkin saya tak terlalu kaget, toh biasa ditemukan di Batam. Tapi jika akhwat tersebut mengajak cowoknya bermalam dirumah kontrakannya dengan alasan sudah larut malam dan si cowok tidak bisa pulang. Meski si akhwat tetap memakai baju ‘kebesarannya’ didepan cowok tersebut, tapi mengajak cowok menginap dirumah kontrakannya, meski dirumah juga ada teman-temannya, dan mereka tidur satu kamar yang hanya dibatasi oleh anak kecil, keponakan akhwat tersebut dengan pintu kamar sengaja dibuka lebar-lebar, tentulah itu bukan perbuatan yang santun, meski oleh yang bukan akhwat sekalipun.

“Akhwat itu hanya menutup yang diluar saja, tapi didalamnya lebih bobrok lagi dari kami” Sambungnya dan ia pergi berlalu begitu saja. Saya tak bisa komen apa-apa, soalnya ketika saya bertanya keteman yang lain jawaban mereka sama. Tapi syukurlah, si akhwat itu sekarang sudah menikah.

Tapi sekarang, kebobrokan itu ada didepan mata saya. Saya mengenal seorang akhwat yang saya anggap senior diantara kami. Ia santun, kalem dan pemalu. Tapi ketika saya kenal lebih dekat dengannya saya kaget tak tanggung-tanggung. Selama ini saya menghormatinya sebagai akhwat senior yang santun, baik dari segi umur maupun pemahaman keislamannya. Tapi kenyataannya diluar yang saya bayangkan. Akhwat tersebut ternyata sudah menjalin hubungan dengan seorang pria dengan latar belakang berpendidikan agama. Hubungan tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun. Akhwat tersebut sudah berkali-kali meminta dikhitbah oleh kekasihnya itu, tapi karena belum menemukan waktu yang tepat, si pria mengundurnyanya.

Seperti apapun santunnya hubungan pacaran yang dibangun oleh kalangan akhwat maupun ikhwan, menurut saya tetaplah tidak bisa diterima secara syariah. Meski alasannya karena factor umur, takut nantinya tak kebagian jodoh, maka  ia ‘booking’ duluan. Lalu apa bedanya dengan pacaran? Setiap hari pria tersebut menelpon, berkali-kali dalam sehari, melebihi dosis minum obat, melebihi banyaknya waktu shalat wajib. Meski hanya bertanya, apakah Adek sudah makan? Sudah mandi belum? Lagi ngapain? Sudah tidur? Sudah tahajjud? Shaum gak besok?, dll. Telinga saya panas mendengarnya. Kadang si Akhwat membuatkan makanan kesukaan pacarnya tsb. Kadang, setelah menerima telepon dari cowoknya, saat bangun tidur maupun akan berangkat tidur, si akhwat cemberut manja; katanya ia sedang dilanda cemburu (lebaiiikkk…). Yang paling menyesakkan perasaan saya, ia bercerita tanpa beban pada saya, dan berpesan untuk jangan menceritakan pada siapa-siapa.

Saya harus berbuat apa? Ia terlalu bersemangat dengan hubungannya itu, berharap si pria segera melamarnya bulan depan. Saya hanya bisa menyindir halus perbuatannya itu dan menunggu waktu yang tepat.

Namanya juga hidup, semakin lama hidup, semakin banyak hal-hal baru yang ditemui. Dulu, model jilbab sangat sederhana tapi anggun dan menyejukkan pandangan mata. Sekarang bermunculan model jilbab yang makin bergeser dari nilai islami yang tak jarang juga dipakai oleh kalangan akhwat. Mulai dari jilbab yang berkerah seperti kemeja, mencekik leher, model yang seperti punuk unta, berbahan tipis meski panjang, atau model yang menutup rambutnya doang, sementara leher dan puting telinganya sengaja dinampakkan. Untuk model-model seperti itu saya pernah melayangkan protes ke salah satu produsen jilbab bermerk terbesar di Indonesia. Alhamdulillah mereka menyambut dengan baik.

Dulu kita mengenal nasyid yang lembut iramanya, liriknya mengajak kita sejenak mengheningkan cipta, dinyanyikan dengan santun oleh munsyidnya. Sekarang bermunculan nasyid yang nge-beat, dan beraliran music yang tak jauh dari music-musik jahiliya. Yang berbeda hanya liriknya saja, ada nama Allah dan Rasul-Nya. Lagu seperti ini, kata salah seorang munsyid dari Medan – Madani - bukan nasyid tapi lagu reliji, dan digandrungi oleh para akhwat & ikhwan zaman sekarang.

Jika sekarang banyak ustadz yang masuk dapur rekaman, maka tak heran jika menemukan fakta, bahwa anak-anak para Kiai yang sudah terpercaya kredibitas ‘kekiaian’nya, punya pesantren dan sering wara wiri di tv pun, berpakaian kurang pantas. Kalau kiai sekaliber Abdurrahman Wahid sih kita tak kaget lagi, lah wong dia sendiri sering nyeleneh.

Saya masih ingat dengan keistiqomahan akhwat Alamanda dengan pakaian taqwa. Kemana-mana mereka selalu memakai kaos kaki dan baju longgar, mau belanja piket masak, syuro ke Masjid beli pangsit si Mas ke lantai satu atau gotong royong didepan rumah, meski membersihkan got sekalipun! Diiringi alunan Shoutul Harakah yang menyentak dada, atau Iziz yang menambah semangat perjuangan dan Madani yang bertalu-talu dengan lirik-liriknya yang menawan. Bagaimanapun tergesanya akhwat keluar rumah, paling tidak mereka tahu batas-batas auratnya meski hanya memakai sepatu yang menutup sebagian kaki.

Tapi memang, keshalehan Bapak tidaklah harus menurun pada anaknya. Sekarang pilihan ada ditangan kita, tetap militant dalam aplikasi keislaman (bukan ekstrimis, lho)–, dalam arti yang benar – hidup mengacu pada Al Quran dan hadits atau ikut-ikutan terseret arus zaman. Al Quran terbentang, tinggal kita mentadaburi.

Sah-sah saja kita gaul, tapi gaul yang cerdas dan ‘nyar’i’ apa susahnya?

(Ditulis khusus untuk Komunitas Akhwat Alamanda, mari kita “berarung jeram” tapi jangan sampai terseret arus. Tarbiyah memang bukan awal dari segala-galanya, tapi insyaAllah tarbiyah membuka jalan kita untuk merambah syurga, amieennn...)

4 comments:

Jilan al Rasyid said...

Amiin ya Rab,,,
doa yang selalu diucapkan Rasulullah...
tetapkanlah hati hamba pada keimanan, keistiqomahan berada di jalan cinta para pejuang...
follow blog ana juga ya kak.. Winda (telagasemeru.blogspot.com)

Hilmy said...

amien..amien yaa Rabb....

Hilmy said...

Aslkm,
Saya tahu, ada seseorang pembaca yang tidak menyukai artikel saya ini, tapi ini tidak bermaksud menyinggung yg bersangkutan. Tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan 'seseorang' ini. toh, kalaupun merasa, saya kembalikan kepada diri kita masing2.

Sii Isni said...

Tulisan yang indah, Ukhti. Syukran. ^_^

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti