Saturday, July 9, 2011

Etika Dalam Sepiring Nasi

Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia 
dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang 
dapat ditentukan oleh akal dan moral
(Drs. Sidi Gajalba - Sistematika Filsafat)

Sewaktu kecil, Ayah saya adalah pelaku etika yang menyeramkan bagi saya. Menurut kami, anak-anaknya, Ayah adalah sosok yang keras dan terlalu banyak pantangan dan aturan. Aturan pertama yang tak bisa saya lupakan adalah, jika bacaan shalat kami tidak benar, maka lidi yang bicara. Waktu itu saya belum genap enam tahun, jika akhir minggu, Ayah akan menguji bacaan shalat kami, jika banyak yang salah, maka lidi yang diraut sebanyak seratus helai itu dilecutkan ke pantat kami. Lidi seratus helai, tidak kurang, tidak lebih itu diikat dengan karet gelang dengan kuat. Jika kesalahan kami karena hapalan juz ‘amma atau bacaan shalat yang tidak benar, maka anyaman lidi tersebut dijalin tiga, jika dipukul ke pantat, rasanya habis jatuh dari ketinggian lima meter, terhenyak ke tanah keras dan pantat terlebih dahulu.
Jika kami nakal, misalnya menjahili anak tetangga, maka hukumannya adalah dipukul telapak tangannya dengan anyaman lidi tadi, tapi lidinya tidak dijalin dan dibiarkan seperti sapu lidi. Ini sakitnya beda, perih dan nyeri sekali. Saya dan Abang saya yang nomor dua sering kena hukuman ini. Kedua, adalah hukuman gigi. Ayah membuat perjanjian dengan kami jika diantara kami membuang sampah sembarangan, maka memungutnya harus dengan gigi. Saya langganan hukuman ini, meskipun sudah minta maaf, tapi Ayah tetap berdiri sangar didepan saya, mata melotot dan memaksa saya mengambil sampah makanan ringan itu dengan gigi.
Ketika kami beranjak remaja, peraturan Ayah bertambah lagi. Ketika makan, tidak boleh buru-buru, ambil nasi dan lauk sedikit-sedikit, jika mau lagi tambah dironde kedua. Tidak boleh makan dengan mulut terbuka, tidak boleh terdengar cepak-cepak saat makan, katanya (maaf) seperti makannya babi, tidak boleh ngobrol, tidak boleh bercanda, tidak boleh na..na…na. Alhasil, tak satupun dari anak-anaknya yang mau makan bareng dengan Ayah. Tapi Ayah tetap cuek, kalaupun saya terpaksa  makan bersama Ayah, saya lebih memilih makan dimeja makan, sedangkan Ayah memang lebih suka makan dilantai, dialasi tikar pandan. Soalnya saya punya kebiasaan jelek saat makan. Saya makan sambil membaca, jika tanpa bacaan tiba-tiba saya kehilangan selera.
Ganjaran peraturan Ayah tersebut akhirnya saya bayar bertahun kemudian. Waktu itu saya masih kuliah dikota Padang. Suatu hari saya dan beberapa teman menghadiri akad nikah seorang teman. Setelah acara akad, basa-basi adat dan beberapa pantun dari kedua pihak mempelai, kami langsung menyantap hidangan yang sudah dari tadi dihidangkan didepan kami. Kebetulan disamping kanan saya duduk dengan anggun seorang Ibu muda anggota DPRD Sumbar, kakak dari mempelai pria. Karena menunya semua daging sapi dan ayam, bersantan dan berminyak, saya tidak terlalu selera karena saya tidak makan daging. Setelah beberapa suap dengan lauk kentang dan acar, saya cepat-cepat mencuci tangan. Tiba-tiba, Ibu dewan tersebut memukul tangan saya dan berkata, “Tidak sopan, tunggu dulu tuan rumah mencuci tangannya terlebih dahulu baru para tamu. Ini adat.” Katanya mendelik saya dengan ekor matanya. Teman yang duduk disamping saya terkikik menahan tawa.

Tapi saya tidak. Sakit hati luar biasa. Kenapa dia tidak baik-baik memberitahu saya, saya bukan anak kecil lagi, saya sudah mahasiswa lho (ehm). Sepanjang perjalanan pulang, saya mengingat-ingat, menyesali, jangan-jangan saya pernah mencoblos nomor anggota DPRD tadi saat Pilkada. Saat mencuci, saat kuliah, tidur, makan, saya berusaha mengingat-ingat nomor urut si Ibu anggota dewan tadi. Awas lima tahun lagi! Pikir saya.
Waktu itu saya tak pernah berpikir dan mengambil ibrah (pelajaran) dari setiap fragmen kehidupan saya. Sungguh, betapa setiap peraturan yang dibuat Ayah sebenarnya mengajari kami etika dan norma. Meskipun Ayah tak pernah menyuruh kami mengunyah 33 kali, tapi beliau menyuruh kami mengunyah, makan pelan-pelan. Secara medis inikan sehat, dan juga sunnah Rasul.
Sejak itu, saya selalu mengingat semua kata tentang etika, perlunya menanamkan etika sedari kecil, norma masyarakat dan agama. Saya ingat disuatu hari, saat perpisahan dengan siswa saya, dia menulis surat yang sangat mengesankan untuk saya. Isinya kurang lebih seperti ini:
Assalamualaykum wr wbr,
Bu, sebenarnya pertama Ibu mengajar, saya tidak  suka belajar dengan Ibu karena saya tidak suka dengan guru bahasa Inggris wanita. Orang tua saya pernah dipanggil oleh guru bahasa Inggris saya yang dulu. Tetapi Ibu membuat saya merasa tidak begitu benci dengan guru bahasa Inggris wanita karena Ibu lembut dan tidak terlalu banyak omong. Ibu juga menilai orang dengan ETIKA.
Wassalamualykum wr.wbr. M. Zaid Akbar.
Deuuuu….saya sampai berkali-kali membaca surat dengan kalimat sakti ini. Surat itu saya scan dan saya masukkan ke folder khusus kemudian yang aslinya saya tempel dibuku. Meski pertemuan kami hanya dua bulan selama masa magang saya, tapi banyak hal yang berkesan dari surat-surat mereka. Kalimat yang selalu saya ulang-ulang pada mereka adalah, saya menghargai orang yang beretika meskipun nilainya biasa-biasa saja, daripada orang yang pintar akademiknya, tapi tidak punya etika, bagi saya ini NOL besar.
M. Zaid Akbar, dua minggu pertama perkenalan kami, dia adalah siswa yang terlalu banyak interupsi, bicara seenaknya, sering mengganggu teman disebelahnya dan suka bercanda saat jam pelajaran. Tapi minggu-minggu berikutnya, ia adalah siswa favorit saya, yang mengambil tempat duduk paling depan, tidak lagi banyak omong, dan selalu mencatat setiap pembicaraan saya meski kadang tak ada hubungannya dengan pelajaran. Untuk dia, saya berikan kenang-kenangan, sebuah  novel Islami lusuh yang sudah ratusan kali saya baca.

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti