Monday, May 3, 2010

Untuk Lily dan Lily2

                                     Jangan Menangis, Ukhty 
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur:32)

Dia sesunggukan di depanku. Kaca mata minusnya mengembun karena hangat napasnya yang memburu.
Ia nampak cantik dalam air matanya, mengkilat saat lembayung senja itu manyapu wajahnya dari samping. Taman Makam Pahlawan, di bawah shelter hotspot speedy ia mengutak atik notebook dengan jari tengahnya, Lily masih sendiri diusianya yang lebih seperempat abad.
Apakah aku sudah kelihatan tua, Hil? Tanyanya, matanya tak lepas memandang layar notebook yang tidak juga konek ke server. Signal sore itu amburadul. Aku tertawa.
“Mungkin maksud teman-temanmu baik, Ly. Mereka tak enak aja liat dirimu jalan sendiri”.
“Bukan itu. Kenapa aku tak pernah merasa dewasa?”
Lily mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya ke dahi. Kebiasaannya ketika sedang berpikir keras. Toh, aku tak jauh beda dengannya. Umur kami hampir sama dan kelakuan kami yang kekanak-kanakan juga hampir sama. Semua orang yang mengenal kami akan mengatakan kalau kami tidak akan dewasa untuk lima tahun ke depan.
Dari manakah teman-teman kami mengatakan kami sulit untuk menjadi dewasa? Karena aku dan Lily tak pernah serius jika berbicara dalam konten dewasa. Semua dijadikan kelakar. Pun saat Ibuku terbata-bata menanyakan apakah aku sudah ada calon atau belum, aku hanya menjawab sambil tertawa, “Ibu, jodoh itu sudah punya jatahnya masing-masing. Lagipula aku belum terlalu tua untuk disebut perawan tua toh, Bu?” dan pada akhirnya jawabanku saat ditagih siapa calon suamiku adalah, “Bu, gigi bungsuku belum sempurna tumbuh keduanya. Tunggu dulu setelah kedua gigi baruku menonjolkan diri dari gusiku” jawabku saat Ibu bertanya terakhir kalinya. Dua geraham bungsuku memang belum tumbuh sempurna sejak semester pertama kuliah, dan aku sering kesakitan karena gusiku ikut terkunyah jika aku makan makanan yang keras-keras. Toh, tak ada hubungannya, kan? Tapi sejak itu Ibuku tak lagi berani menanyakan sesuatu hal yang paling kutakutkan pada decade ini.
Dan Lily selalu resah.
“Aku resah bukan karena cemas kapan jodoh itu datang, Hil. Tapi yang aku cemaskan ketika jodoh itu datang, apa yang harus kulakukan? Lahir bathin aku belum siap…” Kata Lily suatu ketika.
“Sama…” Jawabku dalam hati.
Kemarin, di mushalla kampus, Lily disidang oleh dua orang teman satu teamnya. “Menuntut” Lily untuk segera menikah. Empat dari lima orang teamnya sudah menikah, dan sisanya adalah Lily, dan memang dia yang paling bontot diantara lima kawan lainnya. Yang membuat Lily panic adalah, teman-temannya mau menjodohkan Lily dengan seseorang yang sudah mereka kenal, satu jurusan dan satu angkatan. Terang saja Lily jengkel karena orang yang mau dijodohkan sangat jauh dari criteria Lily.
“Bukan apa-apa, Hil. Aku tak mengharapkan bibit, bobot dan bebet seseorang. Aku bisa saja menikah tanpa cinta, toh cinta bisa disetting. Yang penting apakah aku tertarik kepadanya?”
“Memangnya cowok itu tak menarik hatimu, Lil?” tanyaku tanpa perasaan.
“Sama sekali tidak.” Jawabnya membuang muka. “Dia baik, Cuma sangat contrast sifatnya denganku.”
Lily memang keras. Keras hati dan keras kepala. Tapi aku kenal Lily, dia bukan tipe orang yang mengutamakan gelar, fisik maupun jabatan seseorang. Hanya saja tipe yang diharapkannya juga harus keras seperti dia namun juga berhati lembut seperti dia. Toh, tak ada salahnya membuat criteria tertentu, kan?
Seperti Lily, aku juga tertimpa masalah yang sama, disidang oleh tiga orang teman cowok perihal pernikahan. Bertanya tentang kesiapanku, teori-teori tentang pernikahan dan segala macamnya. Kenyataannya, jawabanku sama persis dengan jawaban Lily saat dia juga disidang oleh beberapa orang teman cowoknya di PT. Bedanya, aku adalah orang yang terlalu menikmati hari-hariku sehingga lupa berpikir kearah sana. Sedangkan Lily sangat mengkhawatir pertanyaan Ibu dan para tetangganya.
Lily masih terpekur saat azan maghrib sudah berkumandang. Ia sama sekali tak bergeming. Kutepuk bahunya, ia mendongak, mengemas notebook kedalam ransel. Air mata sudah mengeras dikedua pipinya, meninggalkan bekas pada kelopak bawahnya. Baru kali ini aku melihat Lily benar-benar menangis.
Lily dan aku sama. Sama-sama merasa belum dewasa, sama-sama merasa imut padahal sudah amit-amit. Setiap moment yang dilaluinya tak jauh beda skenarionya dariku. Berpikir bahwa pernikahan adalah suatu hal yang “menakutkan” adalah salah besar.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum:21)
Ah, andai kami sering membuka Quran, mungkin kami tak sebodoh dan terbelakang seperti ini. Bukankah Allah SWT telah Mengatakan dalam surat-Nya bahwa pernikahan dapat menentramkan hati manusia dan lebih dekat dengan-Nya?.
Andai saja kami sering membaca Quran.

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti