Monday, June 27, 2011

Saya dan Si Bapak Kucing

"Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang, 
dengan demikian kesuksesan bukan tindakan, 
tapi kebiasaan"
(Aristotle)
Belajar Dari  Abdurrahman. ra
Seringkali kita mengeluh tentang apa yang ada pada diri kita, kenapa Tuhan memberikan kelebihan pada si Anu, banyak kelebihan pada si Fulan, dan kenapa Tuhan tidak memberikanku salah satu saja kelebihan yang diberikan-Nya pada si Fulana? Si Anu bisa jadi dokter karena Nyokapnya Dokter, Bapaknya Insinyur. Ya iyalah, si Fulan bisa kuliah di Amrik, Bapaknya mantan duta disono. Si Fulana kan Hafizah, lah Bapaknya Kiai. Atau, Si Anu pinter karena makannya makanan bergizi terus, kalo saya mah nyaris busung lapar waktu kecil. Heh…
Pernahkan?..... Pernahkan?....
Saya pernah lho, punya pikiran ‘ekstrim’ kayak gitu, bertahun-tahun lalu. Tatkala saya mematut-matut diri di cermin, saya bergumam sendiri, “kok saya gak cakep kayak Ibu saya, yah?, kok saya item, pendek, berkaca mata, padahal otak gak garing-garing amat. Kok saya gak jadi ilmuwan, yah? atau paling tidak jago matematika dikitlah. Kok saya bokek terus, yah? kenapa saya cacat? kok saya gak punya ini, gak punya itu, da…da…da…” Saya capek menghitung-hitung diri, membandingkan diri dengan teman-teman disekitar saya. Apalagi saya dulu termasuk ‘orang yang tak dianggap, tak dipedulikan’ jika berada dikumpulan orang-orang yang punya ‘daya tarik’. Hanya jika saya dapat kesempatan berbicara, baru deh dilirik (deu…suara fals siapa, tuh?). Kalau saya diam saya tuh ibarat ketimun bungkuk, kalau akan dijual kepasar, dimasukin karung tapi gak masuk itungan alias sebagai bonus jika ada yang beli ketimunnya banyak!
Kalau ada acara di wisma (pemondokan mahasiswa), misalnya akhwat mau bikin group nasyid untuk tampil di MuBes (Musyawarah Besar) Wisma Alamanda, saya pasti kebagian angkat-angkat peralatan manggung, menyiapkan meja, kursi, sound system, seksi repot, dan tukang belanja. Kalau ada pementasan drama, saya pasti kebagian peran yang syerem, misalnya jadi syetan yang menggoda pemeran utamanya, jadi kenek, atau jadi penarik layar. Wooowwww…
Itu dulu, manusia yang cerdas adalah manusia yang mau belajar terus menerus. Nah, saya termasuk dari salah satu manusia cerdas itu. He…he.. Mau tahu apa yang membuat saya berubah? Cekidot kisah shahabat yang satu ini.

Setiap kita membaca Hadits atau mendengar penceramah mengutip salah satu Hadits, pastilah ia mengutip satu nama luar biasa ini. Manusia yang tahu akan potensi dalam semua keterbatasan dirinya. Ia datang berbai’at kepada Nabi saw ditahun ke tujuh Hijrah di Khaibar. Dalam rentang empat tahun semenjak ia masuk Islam sampai wafatnya Rasulullah saw, ia memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk belajar dan mengikuti majlis Rasul terus menerus. Ia menyadari, bahwa pahlawan perang dikalangan shahabat sangat banyak, ahli siasat perang, ahli ibadah, fiqih, pemanah ulung, juru dakwah, penulis kitab yang mencatat turunnya wahyu dan sunnah Rasul juga sangat banyak.
Semua orangpun tahu, bahwa Abdurrahman atau yang dikenal dengan Abu Hurairah. ra adalah periwayat Hadits paling banyak. Dan biarkanlah Abu Hurairah. ra menceritakan sendiri kisahnya yang memukau itu.
“Tak ada seorangpun dari shahabat-shahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits daripadaku, kecuali Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, karena ia pandai menuliskannya sedangkan aku tidak…..”
Nah, sahabat, Abu Hurairah. ra tidak pandai menulis dan membaca. Ia mempunyai keahlian yang terbatas tapi ia mengenal dirinya, ia mengetahui potensinya yang bisa ia sumbangkan untuk umat ini. Ia berintekrasi dengan Rasulullah saw hanya selama empat tahun, ia orang yang belakangan masuk Islam, tidak semua peperangan yang bisa ia ikuti, maka ia bertekad untuk menyertai Rasulullah saw kemanapun dan dimanapun.
Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah Binti Ghazwan, demi untuk mengisi perutku. Aku melayani keluarga itu dikala mereka menetap dan menuntun binatang tunggangannya dikala mereka sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah ikutan umat…..”
Abu Hurairah. ra itu miskin sangat. Pernah ia tak punya sekeping rotipun untuk dimakan. Saat rasa lapar menggigit-gigit perutnya, ia ikatkan sebongkah batu dengan sorban dan mengikatkan keperutnya, kemudian ia tekan ulu hatinya, maka ia terjatuh di mesjid dan menggeliat-liat kesakitan sampai-sampai para shahabat mengira ia berpenyakit ayan. Abu Hurairah. ra juga tidak punya keahlian khusus, ia tidak punya ladang untuk digarap, tidak punya perniagaan yang bisa ia urus, tidak bisa membaca dan menulis, sementara dalam jihad ia tergolong biasa-biasa saja. Tidak seperti pedang Allah, Khalid bin Walid yang gagah di medan perang. Ia tidak sepandai Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Zaid bin Tsabit yang bisa membaca dan menulis, tidak segarang Umar bin Khaththab, tidak sekaya Abdurrahman bin ‘Auf yang perniagaannya selalu beruntung. Tapi ia tahu potensi dirinya. Ia tahu ‘sesuatu’ yang special dalam dirinya. Dibalik tempurung kepalanya yang pernah didoakan Rasulullah saw agar diberikan ingatan yang kuat, ia tahu, ribuan tahun yang akan datang umat membutuhkan panduan hidup yang keluar dari tempurung kepalanya itu.
Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan Hadits dari Nabi saw, dan tuan-tuan katakan pula orang-orang Muhajirin yang lebih dulu masuk Islam daripadanya, tak ada yang menceritakan Hadits-Hadits itu? Ketahuilah, bahwa shahabat-shahabtku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka dipasar-pasar, sedangkan orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain tak datang, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan….Nabi saw pernah bersabda kepada kami suatu hari, ‘Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatupun dari apa yang telah didengarnya daripadaku…!’ Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada satupun yang terlupa bagiku dari apa yang kudengar.”
Marwan bin Hakam pernah menguji kemampuan Abu Hurairah ini. Suatu hari, ia pangggil Abu Hurairah. ra  dan dimintanya mengabarkan Hadits-Hadits Nabi saw, sementara ia suruh penulisnya untuk mencatat Hadits-Hadits yang disampaikan Abu Hurairah. ra dibalik dinding. Setahun kemudian, ia panggil kembali Abu Hurairah. ra dan dimintanya membacakan Hadits-Hadis yang pernah disampaikannya satu tahun lalu.  Ternyata tak ada sepatah pun yang terlupa oleh Abu Hurairah. ra!
Abu Hurairah. ra menyadari bahwa ia mempunyai waktu dan kesempatan yang terbatas, bakat yang ‘tak diketahui’, tapi ia punya peluang untuk bisa meraih syurga dengan potensi yang ia miliki. Dalam keterbatasan dirinya, ia tahu ia sangat special. Saya sungguh terkesan tak dibuat-buat ketika membaca kisah shahabat satu ini. Secara perlahan saya mulai berhenti membandingkan keadaan diri saya, nasib dan takdir yang saya jalani. Saya hanya perlu memupuk potensi saya, apakah potensi saya? Saya sendiri juga tidak tahu! Hiks..yang jelas, saya harus mengambil salah satu peran dari sekian banyak karakter manusia yang ada di dunia ini. Paling tidak, saya punya bakat jadi pendongeng bagi wajah-wajah manis didepan saya.
Saat ruhnya begitu rindu untuk bertamu ke Rafiqul A’la, ia dijemput dalam damai. Saat orang-orang bertanya-tanya, kenapa ia bernama Bapak Kucing (Abu Hurairah), bahwa ia memiliki seekor kucing yang amat disayanginya, dibawanya kemana-mana, seperti bayangannya sendiri. Saya membayangkan rupa Abu Hurairah, kurus tinggi, berkulit coklat, berjanggut tipis, selalu menggendong seekor kucing kemanapun ia pergi dan terlihat bersahaja meski ia pernah menjabat sebagai amir di Bahrain. Pernahkah Abu Hurairah berpikir – selain Hadits-Hadits yang ia sampaikan – kisah hidupnya sendiri merupakan pelajaran yang bernas bagi orang-orang yang berpikiran picik seperti kita, bahwa pengalaman hidupnya telah mengubah cara berpikir seorang anak pesisir seperti saya, dan berjuta orang diluar sana. Dan termasuk anda, sahabatku….?
 (sumber : Khalid Muh. Khalid – Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, Penerbit Diponegoro)

No comments:

Kasih............

Kasih manusia sering bermusim. Sayang manusia tiada abadi. Kasih Tuhan tiada bertepi. Sayang Tuhan Janjinya pasti